Cerpen  

Langkah Sunyi Seorang Bapak

Langkah Sunyi Seorang Bapak
Gambar Ilustrasi AI

Oleh Ihsan Nugraha

Pagi itu, lelaki berusia hampir lima puluh tahun sudah siap dengan kemeja rapi dan sepatu yang mulai pudar warnanya. Di depan rumah berdiri sebuah motor tua, catnya kusam, suara mesinnya serak ketika dinyalakan. Motor itulah yang setia menemaninya ke sekolah, menembus hujan, panas, atau angin kencang.

Ia seorang guru di sekolah menengah. Gajinya tidak seberapa, sering kali habis hanya untuk membayar kebutuhan pokok. Namun, setiap kali menerima amplop gaji, wajah anak perempuannya selalu yang pertama terlintas. Ada biaya kuliah yang harus dipenuhi, ada cita-cita yang tak boleh terhenti hanya karena angka pada slip gaji terlalu kecil.

Kadang, hujan deras mengguyur di tengah jalan sepulang mengajar. Tubuhnya basah kuyup, dingin menembus tulang. Tetapi di matanya hanya ada satu bayangan: anaknya duduk di bangku kuliah, memegang buku, tertawa bersama teman-temannya. Bayangan itu cukup membuatnya melupakan segala lelah.

Baca Juga:  Cahaya Sedekah di Ambang Senja

Sore itu, ponselnya berdering pelan. Nama anak perempuannya muncul di layar. Ia segera mengangkat, meski suara di seberang terdengar ragu-ragu.
“Pak… bekalnya sudah habis. Uang kos juga tinggal sedikit.”

Lelaki itu terdiam sejenak. Ia melirik dompetnya yang kosong, lalu menatap motor tuanya di teras. Suaranya dibuat setenang mungkin.
“Iya, Nak. Nanti Bapak kirim. Belajarlah yang rajin, jangan khawatir.”
“Maaf ya, Pak…” suara anaknya mengecil.
“Tak perlu minta maaf. Kamu sekolah, itu sudah cukup buat Bapak bahagia.”

Usai telepon ditutup, ia duduk lama di ruang tamu. Senyum kecil terbit di wajahnya, meski hatinya diliputi cemas. Malam itu juga, ia kembali menyalakan motor tuanya, melaju ke rumah seorang teman lama. Ia berharap ada rezeki pinjaman yang bisa menyambung langkah anaknya.

Di rumah, motor tua itu diparkir di pojok teras. Helm yang basah ia jemur, lalu ia duduk sebentar melepas sepatu. Istrinya menyodorkan secangkir teh hangat. Ia hanya mengangguk kecil, kemudian kembali memandangi layar ponsel, seolah menunggu kabar dari anaknya bahwa semuanya sudah baik-baik saja.

Gajinya sering tak cukup. Banyak kebutuhan yang tertunda, banyak keinginan pribadi yang ia kubur dalam-dalam. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Baginya, kebahagiaan anaknya lebih berharga dari segala kenyamanan dunia.

Malam itu, lelaki itu tertidur di ruang tengah yang tak lebar, dengan setumpuk kertas ulangan siswa di pangkuan. Motor tuanya beristirahat di teras, basah oleh hujan sore tadi.

Dalam tidurnya yang singkat, ia bermimpi berada di sebuah aula besar. Musik wisuda terdengar, kursi-kursi penuh, dan di panggung berdiri anak perempuannya dengan toga hitam dan senyum yang bercahaya. Ia melihatnya menerima ijazah, tangannya terangkat memberi hormat. Di sudut aula, lelaki itu meneteskan air mata. Tidak ada kata yang mampu ia ucapkan, kecuali rasa syukur.

Ia terbangun sejenak, menatap ke arah kamar anaknya yang kosong karena jauh di kota. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Lalu ia kembali memejamkan mata dengan satu keyakinan: setiap lelah, setiap peluh, setiap kilometer yang ditempuh motor tuanya sedang mengantarnya perlahan menuju hari itu. Hari ketika mimpi anaknya menjadi kenyataan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *