Menggugat Nalar Penggabungan IAI PERSIS dan UNIPI: Sebuah Pilihan Antara Akal Sehat, Marwah, dan Masa Depan yang Dipertaruhkan

Menggugat Nalar Penggabungan IAI PERSIS dan UNIPI: Sebuah Pilihan Antara Akal Sehat, Marwah, dan Masa Depan yang Dipertaruhkan
Foto ABR: Masa Depan Universitas Islam PERSIS

 

Pertemuan antara Dikti PP PERSIS dengan civitas akademika IAI PERSIS Bandung beberapa waktu lalu bukan sekadar rapat koordinasi. Ia adalah sebuah gelanggang perdebatan intelektual yang panas, menggugah nurani, dan menyisakan luka.

Di satu sisi, Ketua Dikti PP PERSIS, Dr. Utang Rosidin, SH., MH., menyampaikan apresiasi terhadap denyut nadi dan semangat akademik yang berdetak kencang di kampus IAI PERSIS.

Namun, di balik apresiasi itu, terselip sebuah misi yang terasa pahit: menggabungkan IAI PERSIS dengan UNIPI, dibungkus dalih mulia “peningkatan mutu dan kualitas”.

Sekilas, ia adalah janji manis. Siapa yang bisa menolak mantra “peningkatan kualitas”? Tapi, di balik kata “penggabungan” yang terasa begitu netral, bersembunyi sebuah prahara yang mengancam untuk meluluhlantakkan identitas. Pertanyaan-pertanyaan kritis ini harus diteriakkan, tidak boleh dibisikkan:

Apakah “kualitas” harus dibayar dengan pengorbanan jiwa dan sejarah? Apakah “mutu” yang abstrak itu lebih berharga daripada kemandirian yang sudah diperas dari keringat dan darah?

IAI PERSIS bukanlah bangunan megah yang tiba-tiba muncul dari dana proyek puluhan atau ratusan milyar. Ia adalah anak kandung perjuangan PERSIS yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi keilmuan yang otentik di bawah naungan Kementerian Agama.

Jejak langkahnya adalah kronik kesabaran dan konsistensi: bermula dari Perguruan Pesantren Tinggi (PPT), lalu menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU), naik martabat menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), dan kini tegak sebagai Institut Agama Islam (IAI) PERSIS Bandung.

Langkah logis berikutnya bukanlah pembubaran atau peleburan—melainkan sebuah puncak pencapaian yang wajar: transformasi menjadi Universitas Islam PERSIS. Visi ini bukanlah mimpi di siang bolong, melainkan sebuah takdir yang ditulis oleh sejarah.

Selama dua dekade, IAI PERSIS telah membuktikan eksistensinya bukan dengan gedung, melainkan dengan prestasi dan manusia. Ribuan alumninya adalah nyawa yang mengaliri pembuluh darah jam’iyah PERSIS, dari pengurus  ranting hingga pengurus wilayah. Mereka adalah kepala sekolah, muballigh, aktivis, dan penguris dan penggerak amal usaha yang sesungguhnya.

Kampus ini tumbuh dengan darah para kader. Tak ada yang instan. Tak ada gedung megah hasil hibah pemerintah ratusan miliar yang bisa dibanggakan. Tak ada jarak 5 kilometer dari jalan raya yang mewah. Yang ada hanyalah semangat baja dan komitmen tak tergoyahkan. Ia hanya berjarak 300 meter dari jalan raya, tetapi ribuan kilometer lebih dekat dan lebih berakar di hati umat.

Baca Juga:  Ningkatkeun Kualitas Kaum Muslimah

Sementara itu, UNIPI bertumbuh di alam yang berbeda—di bawah Kementerian Diktisaintek. Bermula dari STKIP, ia bertransformasi menjadi universitas. Secara administratif, ini adalah sebuah kemajuan. Namun secara realitas, UNIPI masih berjuang dengan tantangan eksistensial: jumlah mahasiswanya masih menyentuh angka di bawah seribu.

Sebuah ironi yang memilukan: kampus yang baru saja mendapat suntikan dana fantastis di atas 100 miliar justru berpotensi “mencari jiwa” dengan menyatu dengan IAI PERSIS—sebuah kampus yang justru sudah memiliki jiwa, mandiri, mapan, dan memiliki basis kader yang membumi.

Pertanyaannya:
Apakah penggabungan ini benar-benar untuk “mutu”, atau sekadar cara untuk menopang gengsi sebuah lembaga yang kebetulan kebagian proyek besar? Apakah ini persoalan akademik murni, atau lebih merupakan permainan politik anggaran dan pencitraan kelembagaan?

PERSIS yang Hilang Arah: Tanpa Blue Print, Hanya Berbekal Eksperimen

Yang paling memilukan dari seluruh wacana ini adalah ketiadaan landasan yang jelas. Wacana “penggabungan” ini digulirkan tanpa blueprint, tanpa feasibility study, tanpa roadmap, bahkan tanpa landasan filosofis, tidak ada indikator keberhasilan yang bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diterima dengan akal sehat.

Maka, wajar jika muncul kesan kuat bahwa PP PERSIS sedang “bermain-main” dan “bereksperimen” dengan sebuah lembaga yang reputasi akademik dan spiritualnya dibangun dengan susah payah.

Coba, di mana logikanya? Sementara ormas lain berlomba memperbanyak, bukan mengurangi ladang ilmunya. Lihatlah fakta yang tak terbantahkan:

  • Nahdlatul Ulama (NU): 183 perguruan tinggi
  • Muhammadiyah: 162 perguruan tinggi
  • Al-Washliyah: 14 perguruan tinggi
  • PUI: 6 perguruan tinggi
  • Hidayatullah: 6 perguruan tingg
  • PERSIS: hanya 5 perguruan tinggi (1 universitas, 2 institut, 2 sekolah tinggi).

Sekarang bayangkan dengan pilu: jika dua dari lima permata yang sedikit ini dilebur, PERSIS hanya akan menyisakan empat!

  • Apakah ini namanya kemajuan atau justru kemunduran yang tragis?
  • Apakah memperbanyak amal usaha ilmiah dianggap sebuah dosa, sementara menguranginya dianggap sebuah kebijakan?
  • Jika Muhammadiyah dan NU—yang bahkan lahir lebih dulu dan lebih belakangan di bawah PERSIS—terus melahirkan puluhan universitas baru, mengapa PERSIS justru ingin mengecilkan dirinya sendiri dengan cara yang tak masuk akal?
  • Apakah ini cerminan izzah (kemuliaan) atau justru pengakuan akan inqihadh (kemunduran) dan mentalitas kerdil?

Sebuah analogi yang menyentak terlontar dalam forum itu. IAI PERSIS dan UNIPI diibaratkan seperti Ismail dan Yakub, dua putra Nabi Ibrahim. IAI PERSIS adalah Ismail—dibiarkan tumbuh sendiri di padang gurun ketiadaan, tanpa perhatian, tanpa dukungan. Ia bertahan hidup dengan kekuatannya sendiri, menjadi gagah dan mandiri.

Baca Juga:  KPI IAI Persis Bandung Melahirkan Kader Umat Bukan Sekadar Pekerja

Namun, ketika ia telah kuat, tiba-tiba sang “ayah” yang dulu abai, datang dan menuntut agar Ismail yang perkasa itu menyerahkan segala jati dirinya kepada Yakub (UNIPI) yang masih dalam asuhan.

Pertanyaannya:
Apakah ini wujud cinta, atau cerminan ambisi dan keirian belaka?
Apakah ini bentuk kepemimpinan visioner, atau sekadar ekspresi kontrol yang disfungsional dari seorang ayah yang lalai?
Adilkah memaksa sebuah lembaga yang tumbuh dengan darah dan air mata kader untuk “melebur” hanya demi memuluskan sebuah agenda yang samar dan tak jelas ujung pangkalnya?

PERSIS Membutuhkan Jiwa, Bukan Hanya Tajuk

PERSIS adalah sebuah ormas besar dengan warisan intelektual yang gemilang, bukan sekadar koperasi yang mengelola amal usaha. Ia membutuhkan visi jangka panjang yang cemerlang, bukan sekadar kebijakan “tambal sulam” yang reaksioner.

IAI PERSIS sedang berada di ambang pintu pencapaian tertingginya, sesuai mail stone-nya: menjadi Universitas Islam PERSIS. Sebuah monumen yang akan dibangun dari akar perjuangan kader, bukan dari proyek instan atau titipan. Maka, ketika wacana peleburan ini mengemuka, kita harus berani bertanya dengan suara lantang:

  • Apakah kita sedang membangun masa depan, atau justru mengkhianati masa lalu?
  • Apakah sejarah perjuangan kader boleh dikubur hidup-hidup demi gengsi sebuah gedung megah dan anggaran yang menggoda?
  • Apakah ini langkah strategis, atau langkah politis picik yang menabrak marwah dan akal sehat?
  • Apakah tidak lebih keren jika PERSIS dengan bangga memiliki 2 universitas—satu di bawah Kemenag, satu di bawah Kemendiktisaintek?
  • Apakah memiliki dua kekuatan universitas disebut mundur?
  • Apakah PERSIS rugi jika masing-masing universitas berdiri maju? Atau justru ini sebuah kebanggaan?
  • Apakah memiliki dua universitas itu bid’ah sehingga PP PERSIS keukeuh menyatukan 2 kampus tersebut?

IAI PERSIS tidak sedang memberontak. Ia sedang menjalankan tugas sucinya: menjaga marwah perjuangan jam’iyah dari amnesia sejarah dan keputusan yang gegabah.

Karena sesungguhnya, merawat yang kecil dengan penuh cinta dan dedikasi, jauh lebih bermartabat daripada memaksakan sebuah “raksasa” gabungan yang kehilangan ruh dan jiwanya.

Wallahu’alam

Penulis: Tim DARAS.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *