Cahaya Sedekah di Ambang Senja

Cahaya Sedekah di Ambang Senja
Seorang anak laki-laki sedang memberikan makanannya kepada orang tua yang dianggap kurang mampu.

 

Oleh Nurdin Qusyaeri

Senja mulai merambat turun ketika Bram dan Natsir duduk di teras rumah, menikmati angin sore yang sejuk. Di tengah percakapan ringan mereka, topik yang lebih serius tiba-tiba mencuat, menggantikan suasana santai yang ada.

“Yah, aku sering dengar orang bicara soal sakaratul maut. Mereka bilang, pada saat itu, banyak yang berandai-andai minta diberi waktu lebih panjang, katanya ingin melakukan sesuatu yang belum sempat dilakukan. Apa benar begitu?” tanya Natsir dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Bram menatap langit yang perlahan berubah oranye, senja menyapu awan dengan lembut. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab:

“Iya, Nak. Saat seseorang berada di ambang kematian, sering muncul penyesalan. Bahkan, dalam Al-Qur’an, ada yang berkata, ‘Sekiranya…

Laula akhartani ilaa ajalin musamma, fa asshoddaqo.’ “Sekiranya aku diberi sedikit waktu lagi, aku akan bersedekah.”

Natsir mengerutkan kening. “Kenapa bersedekah? Kenapa bukan shalat, puasa, atau haji?”

Bram tersenyum tipis, seolah mengenang masa-masa ketika dirinya juga bertanya hal serupa. “Ibnu Qayyim menjelaskan, Nak, ada alasan mengapa orang yang sakaratul maut berharap bisa bersedekah.

Pertama, karena sedekah sangat meringankan sakaratul maut. Ada cahaya dari kebiasaan memberi, yang membuat proses kematian itu tidak terlalu menyakitkan. Sedekah seolah menjadi penawar bagi penderitaan yang dirasakan di saat-saat terakhir kehidupan.”

Natsir mengangguk, mencoba memaknai penjelasan ayahnya. “Lampu yang paling terang dalam kubur, ya?” tanyanya, mengaitkan poin yang pernah didengarnya.

Bram mengangguk, lalu melanjutkan, “Betul. Itulah poin kedua. Sedekah seperti lampu yang paling terang di kubur, memberi penerangan di tempat yang biasanya gelap dan menakutkan.

Ketika seseorang bersedekah, amal itu terus menerangi dirinya, bahkan setelah ia meninggal dunia.

Baca Juga:  Mushola Kinclong Mulai Go Digital — Mak Ju Syuting Setor Hafalan dan Review Pipi Glowing!

Sedekah menjadi sumber cahaya di tempat yang paling gelap, membuat orang yang biasa memberi merasa lebih tenang dan tenteram di alam kubur.”

Natsir termenung, mencoba membayangkan keadaan tersebut. “Jadi, semakin banyak kita bersedekah, semakin terang kuburan kita?” tanyanya pelan.

“Kurang lebih begitu, Nak. Sedekah adalah salah satu amal yang langsung memberikan balasan, baik di dunia maupun di alam barzakh.

Itulah kenapa Rasulullah sangat menganjurkan kita untuk bersedekah, karena manfaatnya terus mengalir meski kita sudah tidak ada,” jelas Bram sambil menepuk bahu anaknya dengan lembut.

Setelah hening beberapa saat, Bram melanjutkan penjelasannya. “Nah, poin ketiga yang tak kalah penting. Pintu surga yang paling besar dibuka untuk orang-orang dermawan, mereka yang senang bersedekah.

Di surga nanti, ada pintu khusus yang disebut assakhayah, pintu yang hanya bisa dilewati oleh orang-orang yang murah hati. Orang-orang yang gemar berbagi akan diberi jalan masuk melalui pintu itu.

Allah menciptakan pintu khusus bagi para dermawan karena kemurahan hati dan kebaikan mereka terhadap sesama.”

Natsir tercengang mendengar hal itu, membayangkan sebuah pintu besar terbuka lebar hanya untuk orang-orang yang ringan tangan.

“Jadi, sedekah itu nggak cuma membantu kita waktu sakaratul maut dan di alam kubur, tapi juga jadi jalan besar untuk masuk surga, ya?”

Bram tersenyum lembut, bangga melihat putranya mulai memahami inti dari pembicaraan mereka.

“Betul sekali. Sedekah bukan hanya meringankan sakaratul maut dan menerangi kubur kita, tapi juga membuka pintu surga yang besar, memberi kita jalan istimewa untuk masuk ke dalamnya.”

Natsir mengangguk perlahan, merenungi setiap kata yang diucapkan ayahnya. Sore yang awalnya penuh obrolan ringan kini berubah menjadi pelajaran hidup yang mendalam tentang makna memberi.

Baca Juga:  Surat untuk Diri yang Pernah Hilang Arah

Bram mengangkat tangannya, menyentuh bahu Natsir dengan lembut, seolah menyalurkan kekuatan yang ia peroleh dari kebijaksanaan hidup yang panjang.

“Nak, ingatlah,” ujar Bram dengan suara tenang,

“Jadikan hartamu sebagai aliran amal, sebagai sedekah yang mengalir bahkan setelah kita tiada. Jangan menunggu saat kematian mendekat baru kita ingin memberi. Lakukanlah sekarang, selagi kita masih punya waktu.”

Natsir terdiam, menyerap setiap kata. Matahari senja kini hampir sepenuhnya tenggelam, namun cahaya percakapan mereka terus bersinar dalam hati masing-masing, membawa pemahaman baru tentang kehidupan, kematian, dan maknas esungguhnya dari memberi. (ANQ)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *