Hayati: Di Antara Runtuh dan Tumbuh

Hayati: Diantara Runtuh dan Tumbuh
Foto dibuat nenk Meta

Oleh Bramantyo

Namanya Hayati — sebuah nama yang seolah telah ditakdirkan untuk menanggung makna dari kehidupan itu sendiri.

Ia lahir di tengah limpahan kasih sayang, tumbuh di bawah teduhnya doa ayah dan hangatnya pelukan ibu. Dunia baginya adalah taman yang selalu berbunga, dan langit di atas kepalanya tak pernah menurunkan hujan duka.

Segalanya cukup. Segalanya baik. Segalanya penuh cinta.

Ayahnya, lelaki lembut yang menjadikan setiap flu dan demamnya sebagai alasan untuk menyuapkan kasih.

“Sudah makan bubur, Nak?” suara ayah itu seperti doa yang menetes di pagi hari.

Dan Hayati — meski telah beranak satu — tetap menjadi gadis kecil di mata ayahnya. Manja, lembut, dan tak pernah dibiarkan bersentuhan dengan kerasnya dunia.

Senyum ayahnya adalah rumah, dan setiap langkah Hayati adalah pantulan dari cinta yang menuntunnya pulang.

Kemudian hadir Handaru, lelaki dengan mata teduh dan kesabaran tanpa tepi.

Ia mencintai Hayati seperti menyalakan pelita di tengah hujan — penuh ketekunan, tanpa pamrih, tanpa kata “tapi.”

Ia menjadikan hidup Hayati seperti taman kecil yang selalu dirawat: harum, indah, dan terjaga dari angin ribut.

Dalam manja, Hayati bahagia. Tapi tanpa sadar, ia juga kehilangan sesuatu: kemandirian.

Cintanya terlalu hangat hingga membuatnya lupa bagaimana cara berteduh sendirian.

Lalu datanglah tahun 2021, tahun ketika dunia berlutut di hadapan wabah.

Covid-19 menelan napas banyak manusia, dan di antara mereka — kedua orang tua yang menjadi poros semestanya.

Seketika, langitnya retak. Rumahnya sunyi. Dinding-dinding yang dulu bersuara doa kini hanya memantulkan isak.

Ia kehilangan tempat bersandar, kehilangan tangan yang menepuk lembut setiap keresahannya.

Hidup seketika menjadi asing, seperti tubuh tanpa bayangan.

Baca Juga:  Saat Dunia Menjauh, Langit Mendekat

Malam-malam itu panjang dan beku.

Ia sering terbangun di tengah sunyi, memanggil nama ayah dan ibunya di antara sesenggukan yang tak bersuara.

Ia menyalakan lampu kamar seolah cahaya bisa mengusir sepi,

padahal yang datang justru kenangan — menetes perlahan, menyusup pelan, lalu menggenangi dadanya.

Namun takdir belum selesai menulis luka.

Satu tahun setelah itu, Handaru — lelaki dengan cinta tanpa syarat itu — pergi dalam tenang yang mematikan.

Pagi itu, dunia Hayati seolah berhenti. Udara membeku, cahaya tak lagi bermakna.

Ia duduk memeluk kesepian, memeluk kehilangan, dan berbisik dalam air mata:

“Mungkin Allah cemburu… karena aku terlalu menggantungkan hidupku kepada mereka, bukan kepada-Nya.”

Hari-hari berikutnya adalah lorong panjang tanpa ujung.

Ia berjalan di antara puing, tanpa tahu harus ke mana.

Kadang ia berbicara sendiri di dapur, kadang menatap foto-foto lama sampai matanya perih.

Bibirnya bergetar menyebut nama suaminya, tapi hanya gema yang menjawab.

Dan di antara hening itu, ia sadar — cinta yang dulu memanjakan, kini sedang diuji untuk menjadi kekuatan.

Perlahan, Hayati tumbuh dari reruntuhan yang dulu ia kira akan menguburnya.

Ia merawat warisan Handaru — lahan paprika yang menjadi saksi cinta mereka.

Di ladang itu, setiap benih ia tanam dengan air mata, tapi setiap tunas yang tumbuh adalah bentuk baru dari harapannya.

Tanah itu kini bukan sekadar sumber hidup, tapi juga tempat ia berdialog dengan Tuhan.

Kadang ia menatap lembayung sore sambil berbisik,

“Lihat aku, Handaru… aku masih di sini, masih berjuang seperti yang kau ajarkan.”

Tak berhenti di sana, Hayati keluar dari lingkar sunyi.

Ia menautkan diri pada dunia sosial, aktif di ormas-ormas Islam, membagi waktu di antara ladang, kegiatan sosial, dan bangku kuliah.

Baca Juga:  Ibuku Seperti Udara yang Memberi Hidup

Ia belajar kembali, bukan untuk melupakan, tapi untuk menemukan arti baru dari kehilangan.

Dan dari setiap langkahnya, ada doa yang tumbuh diam-diam — doa agar hatinya tetap kuat, meski dunia tak lagi memeluknya seperti dulu.

Kini, Hayati bukan lagi perempuan manja yang takut pada gelap.

Ia adalah perempuan yang menyalakan lilin di tengah malam paling pekat.

Dulu, hidupnya adalah tentang disayangi — kini hidupnya adalah tentang menyayangi: dirinya sendiri, sesama, dan Tuhannya.

Karena pada akhirnya, setiap kehilangan bukan untuk mematikan cinta,

melainkan agar cinta itu kembali kepada Pemilik sejatinya —

dan dari sanalah Hayati benar-benar hidup.

Epilog

Di malam-malam sunyi yang hanya ditemani desah angin dan sisa bintang, Hayati sering menatap langit dengan mata yang basah. Ia tak lagi memohon agar waktu diputar, tak lagi meratap agar kehilangan dipulihkan. Ia hanya berbisik lirih,

“Ya Allah, ajarkan aku mencintai tanpa memiliki, merelakan tanpa melupakan.”

Dan dari setiap tetes air mata yang jatuh ke bumi, tumbuhlah keteguhan — semacam keindahan yang hanya bisa lahir dari hati yang pernah hancur, namun memilih tetap percaya bahwa hidup, betapapun perihnya, selalu punya cara untuk kembali bersemi.

Wallahu’alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *