Sastra  

Lentera yang Padam di Pintu Itu

Lentera yang padam di pintu itu
Foto Instagram: Seorang lelaki sedang mengumpulkan barang rongsokannya.

Oleh Bramantyo

Namanya Rahman — lelaki 55 tahun yang wajahnya legam terbakar matahari dan matanya teduh seperti doa yang tak selesai.

Setiap pagi ia mendorong gerobak biru tuanya menyusuri jalan-jalan kota. Satu demi satu, ia pungut botol, kaleng, dan kertas bekas, kadang dari tumpukan sampah yang masih hangat oleh sisa kehidupan orang lain.

Tangannya luka. Kuku-kukunya hitam. Tapi dari tangan yang retak itu, ia membangun hidup — pelan-pelan, dengan cinta yang tidak pernah ia sebut-sebut.

Di rumah, Rahmi — istrinya yang berusia 45 tahun — menunggu. Wajahnya masih segar, kulitnya bersih, senyumnya hangat.

Mereka tinggal di gubuk kecil, 4×7 meter, berdinding triplek dan berlantai semen. Tapi di dalamnya, cinta tumbuh seperti doa subuh — lembut, jernih, dan penuh harap.

Baca Juga:  Surat untuk Diri yang Pernah Hilang Arah

Setiap malam, sebelum tidur, mereka berdua sering memutar lagu kesukaan:

“Masya Allah” karya Tri Suaka.

Rahmi yang meminta, katanya lagu itu seperti kisah mereka — sederhana, tapi nyata.

Dan Rahman, dengan suara serak dan pelan, sering ikut bersenandung:

Kαu hαdír ~

Bαgαíkαn lenterα

Yαng menyí~nαrí

ruαng hαtíku…

Cinta ~

Yαng kαu berí kepαdαku Sederhαnα tapi begítu terαsα… Buαtku bαhαgíα… Cαrαmu berbedα… Tapi ku rαsα begítu sempurnα…

Di bawah cahaya lampu 5 watt, mereka sering tertawa kecil. Tentang mimpi naik haji. Tentang uang receh yang mereka simpan di toples biskuit, disembunyikan di bawah kasur. Tentang masa tua yang ingin mereka lewati dengan damai, di serambi Mekah.

Tapi waktu, seperti biasa, punya rencana lain.

Entah bagaimana, Rahmi perlahan berubah. Ia mulai banyak diam, banyak termenung, dan lebih sering pergi dengan alasan “menemani teman.”

Rahman tak pernah curiga. Ia percaya. Ia terlalu tulus untuk berprasangka.

Sampai suatu siang, saat matahari menimpa keras kepalanya di tengah tumpukan sampah, seseorang berbisik padanya:

“Istrimu… dibawa pergi orang. Lelaki itu… sepupumu sendiri.”

Dunia Rahman seketika runtuh.

Tangannya gemetar. Gerobaknya terhenti.

Lelaki yang membawa pergi Rahmi itu — Imron, sepupu jauh yang dulu pernah disebut Rahmi sebagai lelaki yang kasar, sombong, dan menakutkan.

Rahmi pernah berkata, “Aku takut padanya, Man. Dia tidak tahu caranya memperlakukan perempuan.”

Tapi kini, Rahmi justru pergi bersamanya.

Meninggalkan suami yang dulu mengusap peluh di dahinya, yang memeluknya setiap kali hujan bocor di atap rumah mereka.

Lebih dari itu, Imron menebar cerita — bahwa Rahman miskin, tak berguna, pemalas, bahkan kasar. Nama baik Rahman tercabik, dirobek oleh saudara sendiri.

Namun lelaki itu tetap diam.

Ia hanya duduk di depan pintu gubuknya yang mulai lapuk, menatap ruang kosong di mana dulu Rahmi sering tersenyum.

Aku masih menunggu di sini,” katanya lirih.

“Bukan menunggu kau pulang… hanya menghabiskan sisa umurku aja.

Silakan kau turuti nafsumu, Rahmi. Suatu saat nanti, kau akan tahu…

mana cinta yang tulus, dan mana yang hanya pulasan.”

Baca Juga:  Masih Tahu Jalan Pulang

Hari-hari berikutnya, Rahman berjalan lagi.

Ia terus memulung, tapi kali ini bukan sekadar mengais rezeki — ia mengais harga diri. Ia kumpulkan setiap lembar kecil hasil keringat, lalu sedikit demi sedikit membuka usaha kecil: menimbang barang rongsokan, membeli dari pemulung lain, menjual ke pengepul besar.

Doanya di setiap sujud makin dalam.

Dari tangan yang dulu berdarah, Tuhan mengubahnya menjadi tangan yang kuat dan terhormat.

Tahun demi tahun berlalu.

Rahman kini punya rumah permanen, berdinding bata merah dan halaman kecil dengan pohon kamboja di depan. Ia bukan lagi “Pak Rahman pemulung”, tapi “Pak Rahman pengusaha daur ulang.”

Ia sering membantu tetangga, menyekolahkan anak yatim, dan tak pernah lupa bersyukur.

Namun di setiap senja, di bawah cahaya oranye yang menembus jendela, ia masih duduk di teras rumahnya, memutar lagu yang dulu menjadi saksi cinta mereka:

Mαsyα Allαh ~

Ku begítu bαhα`gíα ~

Kαu terαngí hαtíku

dengαn lenterα cíntα…

Dan matanya berkaca-kaca.

Bukan karena masih mencintai Rahmi — tapi karena ia tahu, cinta sejati tidak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk menjadi doa, menjadi kesabaran, menjadi cahaya yang menuntun jiwa.

“Sekarang aku tak lagi menunggu di pintu,” bisiknya.

“Karena pintuku sudah bukan untukmu, Rahmi.

Pintuku kini untuk Tuhan — tempat aku pulang, setelah semua luka ini selesai disembuhkan.”

Wallahu’alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *