Revisi UU TNI: Hanya Akan Membawa Kita Kembali Ke Masa Kelam

Oleh: Nurdin A. Aziz

 

Sejak zaman Orde Baru, hubungan antara militer dan masyarakat sipil di Indonesia kerap menjadi medan ketegangan. Di satu sisi, TNI memiliki peran dalam menjaga pertahanan negara, tetapi di sisi lain, sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam politik sering berujung pada represi.

 

Seperti dalam novel-novel Eka Kurniawan yang memotret sejarah Indonesia, revisi UU TNI bisa dilihat sebagai sebuah kisah kelam yang terus berulang. Bayangkan sekelompok perwira yang kembali ke panggung kekuasaan sipil, tidak hanya sebagai penjaga keamanan tetapi juga sebagai aktor politik yang menentukan arah bangsa. Ini bukan sekadar cerita lama yang dihidupkan kembali, tetapi sebuah narasi yang terus menghantui demokrasi kita.

 

Dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, tokoh Ajo Kawir merepresentasikan maskulinitas yang terluka, sebuah metafora yang bisa kita gunakan untuk melihat posisi TNI saat ini. Militer yang seharusnya menjadi alat negara sering kali merasa kehilangan peran setelah Reformasi. Dalam kondisi ini, revisi UU TNI bisa menjadi jalan bagi militer untuk “menebus kerinduan” mereka terhadap kekuasaan. Namun, sebagaimana dalam novel tersebut, obsesi terhadap kekuatan justru berujung pada kehancuran.

 

Revisi ini disebut-sebut memberi jalan bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil. Ini mengingatkan kita pada era Dwifungsi ABRI yang dulu begitu mengakar dalam sistem politik Indonesia. Apakah kita benar-benar ingin mengulang babak lama yang penuh represi? Dalam novel Lelaki Harimau, Eka Kurniawan menggambarkan bagaimana kekerasan bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Begitu pula dalam politik: jika ketidakadilan dibiarkan, ia akan tumbuh seperti penyakit yang sukar disembuhkan.

 

Kita tahu, militer memiliki struktur hierarkis yang berbeda dengan sistem pemerintahan sipil. Dalam sistem militer, perintah adalah hukum yang tidak bisa diganggu gugat, sementara dalam demokrasi, kebebasan berpendapat dan transparansi adalah pilar utama. Jika revisi UU ini diterapkan, kita bisa membayangkan seorang pejabat sipil yang tiba-tiba bertransformasi menjadi komandan, mengabaikan diskusi dan langsung mengambil keputusan tanpa perlu negosiasi.

Baca Juga:  Kemiskinan di Desa Menurun Menguatkan Optimisme Pembangunan Desa

 

Di sisi lain, revisi ini juga membuka celah bagi TNI untuk lebih leluasa berperan dalam kehidupan sosial. Kita bisa bayangkan bagaimana, misalnya, seorang jenderal aktif mengatur kebijakan pendidikan, kesehatan, atau bahkan ekonomi dengan cara-cara militeristik. Dalam Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan menampilkan bagaimana kekuasaan bisa berubah menjadi tirani, dan revisi UU ini bisa menjadi alat bagi militer untuk kembali mendominasi kehidupan sipil.

 

Kekhawatiran lain yang tak kalah penting adalah kembalinya impunitas (tidak bisa dipidana) bagi aparat militer. Jika militer diberikan keleluasaan untuk masuk ke dalam ranah sipil, bagaimana dengan mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya? Dalam banyak kasus pelanggaran HAM, militer sering kali mendapat perlakuan istimewa, dan revisi UU ini bisa semakin memperparah situasi.

 

Eka Kurniawan sering menggunakan narasi sejarah untuk menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja dalam siklus yang berulang. Revisi UU TNI, jika tidak dikritisi, bisa menjadi bagian dari siklus itu: militer kembali berkuasa, rakyat ditekan, dan demokrasi kehilangan maknanya.

 

Jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka kita harus belajar darinya. Kita tidak bisa membiarkan kesalahan masa lalu kembali terulang. Demokrasi adalah proyek yang terus berkembang, dan membiarkan militer kembali menguasai ranah sipil hanya akan membawa kita kembali ke masa kelam. Seperti kata Eka Kurniawan dalam salah satu novelnya: sejarah adalah hantu yang tak pernah benar-benar pergi, kecuali kita berani menghadapinya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *