
Oleh Nurdin Qusyaeri
Tuan dan puan sekalian.
Ingatlah bahwa tidak semua orang mampu membaca peta perjalananmu.
Mereka hanya melihat garis besar cerita — tanpa tahu betapa terjalnya jalan yang kau tapaki, tanpa merasakan sakitnya batu yang menggores telapak kakimu.
Jatuhmu tak selalu terlihat. Luka-luka itu kau sembunyikan di balik senyum tipis.
Tangismu, sering kali hanya menjadi rahasia malam yang larut, mengalir bersama doa yang tak pernah kau ucapkan lantang di hadapan manusia.
Cukuplah Allah menjadi saksi.
Saksi yang memahami bahasa air matamu sebelum ia jatuh.
Saksi yang mengerti arti gigil di hatimu ketika dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.
Saksi yang melihat senyummu — bukan karena bahagia, tapi karena kau tak ingin membuat orang lain khawatir.
Dia tidak pernah meninggalkanmu, meski langkahmu gontai dan dunia memalingkan wajah.
Saat semua berpaling, Dia justru mendekat.
Saat kau runtuh, Dia memegangmu erat.
Saat kau hampir menyerah, Dia meniupkan secuil kekuatan, cukup untuk membuatmu bertahan satu hari lagi… dan hari-hari berikutnya.
Lalu, dari relung hatimu yang terdalam, kau berbisik,
“Ya Allah, aku titipkan hatiku pada-Mu.
Tetapkanlah ia dalam agama-Mu,
Kuatkanlah ia dalam mencintai-Mu,
Dan jangan biarkan aku bersandar pada diriku sendiri, walau sekejap mata.”
Karena kau tahu, kekuatan sejati bukanlah dari otot atau logika,
tetapi dari hati yang terikat pada-Nya.
Kadang, bahkan orang terdekat pun tak mampu mengerti.
Ada ruang di dalam hati yang terlalu privat,
ruang yang tak pernah tersentuh kata,
ruang yang hanya bisa kau buka di hadapan Allah.
Dan di situlah rahasia paling suci tersimpan:
bahwa kau tak pernah benar-benar sendiri.
Ada Dia, yang lebih dekat dari nadimu,
yang tak sekadar mendengar,
tapi juga memahami setiap retakan di jiwamu… bahkan sebelum kau sendiri sempat menyadarinya.
Wallahu’alam






