
Oleh Nurdin Qusyaeri
Dalam perjalanan sunyi jiwa, di mana langit terkadang terasa runtuh menimpa pundak, sesungguhnya tersembunyi sebuah optimisme agung. Bukanlah keceriaan hampa tanpa makna, melainkan sebuah keberanian spiritual untuk terus bernapas di tengah badai yang menguji kedalaman hati.
Ia adalah seni nan luhur, serupa pelukis yang dengan sadar menyematkan goresan-goresan gelap pada kanvas hidup, meyakini bahwa setiap warna kelam itu justru akan menyempurnakan mahakarya di akhir nanti.
Optimisme ini adalah metamorfosis luka menjadi mosaik keindahan, di mana setiap pecahan pengalaman getir, tetap memancarkan kilau cahayanya sendiri, meski telah mencium bumi.
Di tengah deru kehidupan yang serba menghimpit, kita diundang untuk menyepi dalam ruang hening yang mencerahkan. Tak semua ujaran memerlukan balasan, tak semua sayatan luka mesti dijelaskan kepada dunia.
Dalam kesunyian ini, kita menemukan pengakuan bahwa ego kita bukanlah pusat semesta tafsir, dan bahwa ada narasi jiwa yang begitu personal, terlalu rumit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lisan.
Maka, diam bukanlah simbol kekalahan, melainkan sebuah benteng kokoh yang melindungi kearifan batin. Kesabaran bukanlah kepasifan, melainkan sungai yang mengalir dalam, tenang di permukaannya, namun menyimpan kekuatan luar biasa di dasarnya.
Pada akhirnya, kita meletakkan pena penghakiman itu kembali ke tangan Sang Maha Penulis Takdir, dengan keyakinan penuh bahwa setiap alur cerita akan bermuara pada kesempurnaan yang tak terduga.
Maka, hindarilah jemari yang tergesa menghakimi, karena setiap insan masih dalam genggaman kasih sayang Ilahi untuk bertransformasi.
Seringkali, kita terperangkap dalam fatamorgana kesucian spiritual, merasa berhak menjadi hakim atas perjalanan iman orang lain.
Padahal, surga bukanlah milik mereka yang merasa paling bersih, melainkan bagi mereka yang tak henti-hentinya menapaki jalan perbaikan diri. Ungkapan ini adalah cambuk lembut yang menyadarkan kita dari ilusi kesempurnaan.
Surga adalah muara bagi para pejalan yang kakinya belepotan lumpur perjuangan, yang bajunya compang-camping oleh duri-duri kesalahan, namun matanya tak pernah lepas dari cahaya hidayah di ufuk perjalanan.
Setiap jiwa adalah sebuah galaksi tersendiri, dengan peta langit dan dialek kerinduan yang unik kepada Sang Pencipta. Jalan mereka menuju Allah tak selalu sama dengan jejak langkahmu.
Ada yang merajut cinta-Nya melalui jalan sunyi para sufi, ada yang mengekspresikan kekaguman-Nya melalui tarian riang para pecinta, ada pula yang menemukan-Nya dalam dekapan hangat sesama.
Menilai langkah orang lain adalah kesia-siaan belaka, serupa mawar yang mencela melati karena aroma wanginya yang berbeda. Biarkanlah setiap hati menemukan melodi spiritualnya sendiri dalam simfoni agung kerinduan yang tak bertepi kepada-Nya.
Lantas, untuk apa lagi digelisahkan? Sedang Sang Pemilik Alam semesta telah menjamin segalanya. “Tidak ada satu pun makhluk melata di bumi melainkan Allah yang menjamin rezekinya.”
Jika kita menyelami makna kalimat ini dengan sepenuh hati, di mana lagi ruang untuk kegelisahan bersembunyi?
Kegelisahan kita seringkali berakar pada ketidakpercayaan yang mendalam akan kebijaksanaan dan kemahakuatan Sang Penjamin.
Kita seperti anak kecil yang meragukan ibu yang tak akan pernah lupa memberi makan.
Di sinilah kita diajak untuk melepaskan makna rezeki dari belenggu persepsi sempit. Ia bukanlah sekadar deretan angka di rekening, atau benda material yang dapat digenggam.
Rezeki sejati adalah “apa yang menenteramkan hati dan mendekatkan jiwa kepada Tuhan.”
Ini adalah sebuah redefinisi yang revolusioner, yang mengubah cara pandang kita. Ia adalah keteduhan yang menaungi di tengah teriknya cobaan, adalah pelukan hangat yang membasuh kesepian, adalah sebuah ayat yang tiba-tiba hidup dan membelai jiwa yang gersang.
Rezeki telah dijanjikan, tinggal bagaimana kita membuka diri untuk menerima dalam berbagai wujudnya—bisa jadi dalam rupa kehilangan yang justru membuka pintu kebijaksanaan, atau dalam kesederhanaan yang melahirkan kekayaan batin tak terhingga.
Pada akhirnya, segala liku perjalanan ini bermuara pada satu keadaan jiwa: ketenangan yang hakiki. Bukan ketenangan yang lahir dari kepemilikan segalanya, melainkan keyakinan yang teguh bahwa Allah telah menyiapkan segala yang terbaik.
Inilah puncak dari segala filosofi. Kita seperti sehelai daun yang terapung pasrah di sungai kehidupan; ia tak perlu mendayung, ia hanya perlu percaya pada aliran air yang membawanya. Ia menikmati setiap pemandangan, karena ia tahu, sungai ini pasti akan mengantarkannya pada lautan yang luas.
- Percayalah sepenuhnya.
- Berdiamlah dengan makna yang mendalam.
- Melangkahlan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Dan biarkan hati ini meleleh dalam sebuah kepasrahan yang aktif, karena di balik setiap beban dan luka, ada Cinta Ilahi yang sedang menorehkan kisah terindah untuk kita—dengan tinta emas keyakinan dan kertas putih kesabaran.
Sebab, jiwa yang benar-benar tenang bukanlah yang segala kebutuhannya terpenuhi, melainkan yang hatinya telah mencapai keyakinan bahwa segala yang diperlukan untuk kebahagiaannya telah dijamin oleh Sang Maha Pengasih.
Wallahu’alam







Alhamdulillah bagus banget ,ya Alloh semoga aku bisa menjalani ke hidupan ini dengan ridhomu.