
Oleh Yuyun Asymiawati
Bayangkan ini: aku berdiri di depan kelas, bak presiden negara mini bernama Negara Kursi Berderit. Di sinilah aku, sang ketua kelas yang bukan hanya mengurus absen, jadwal piket, dan memanggil guru kalau belum datang, tapi juga jadi penengah ketika ada “perang dingin” antar warga negara.
Bedanya, warga negaraku ini unik-unik.
Karakter Teman yang Berbeda
Ada si perfeksionis sejati, yang bahkan daftar rencana ulangan minggu depan sudah dia pikirkan sampai dua bulan ke depan—padahal gurunya saja belum bikin soal. Dia itu tipe yang kalau menggambar lingkaran harus pakai jangka, dan kalau mau makan permen harus dihitung dulu kalorinya.
Di sisi lain, ada si pecicilan humoris. Orang ini seperti karakter kartun yang entah dapat energi dari mana. Setiap langkahnya seakan punya efek suara boing-boing, dan setiap ucapannya bisa bikin satu kelas ngakak. Bahkan gurunya pun sering menyerah dan ikut tertawa. Dia ibarat stand up comedian yang lupa kalau lagi ujian matematika.
Tabrakan Dua Kutub
Nah, masalahnya… dua kutub kepribadian ini sering tabrakan. Si perfeksionis benci ketidakteraturan, sedangkan si humoris alergi aturan yang terlalu ketat. Kalau ketemu, suasananya kayak campuran antara rapat kabinet sama acara komedi tunggal. Kadang serius, kadang pengen ketawa.
Dan di tengah semua itu, aku? Aku harus jadi orator yang mampu meredakan suasana, seperti MC acara debat politik yang nggak dibayar cukup.
Aku nggak mau condong ke satu pihak. Nggak ke kiri, nggak ke kanan, nggak ke depan, nggak ke belakang. Jadi aku di mana dong? Aku… ada di hatimu. Cieee.
Tapi serius, dalam posisi ini aku belajar satu hal: jadi pemimpin itu bukan soal siapa yang paling keras suaranya, tapi siapa yang bisa bikin semua suara didengar.
Gaya Kepemimpinan ala Ketua Kelas
Maka, aku terapkan dua gaya kepemimpinan yang menurutku cocok untuk Negara Kursi Berderit: controlling dan equalitarian.
- Controlling, supaya semuanya tetap ada aturannya. Karena kalau negara nggak ada aturan, bisa-bisa pertemuan kelas berubah jadi pertunjukan sirkus.
- Equalitarian, supaya semua orang merasa penting, dihargai, dan punya hak bicara.
Karena bukankah pemimpin yang baik itu bukan yang berdiri di atas rakyatnya, tapi yang berdiri di tengah mereka.
Belajar dari Perbedaan
Dari dua teman yang sering berselisih itu, aku belajar kalau perbedaan itu wajar. Mereka bukan musuh, mereka cuma berbeda cara memandang dunia.
Si perfeksionis mengajarkanku untuk melihat detail yang kadang aku abaikan. Si humoris mengingatkanku untuk tidak tenggelam dalam keseriusan sampai lupa tertawa.
Kalau dipikir-pikir, kelas kami seperti taman bunga: ada bunga mawar yang rapi dan beraturan, ada bunga matahari yang ceria dan semangat ke mana-mana. Semuanya indah kalau dilihat bersama-sama.
Kepemimpinan Itu Soal Kebersamaan
Jadi, buatku, beda pendapat bukan alasan untuk putus silaturahmi. Justru perbedaan itu bikin hidup lebih berwarna. Kalau semua orang punya satu cara pandang, hidup bakal membosankan kayak nasi tanpa lauk.
Tapi karena ada mereka—yang satu kayak Google Calendar berjalan, dan yang satu lagi kayak meme hidup—kelas kami jadi penuh warna dan cerita.
Dan aku? Aku akan tetap di tengah. Bukan buat jadi penonton, tapi jadi jembatan.
Karena pada akhirnya, jadi pemimpin itu bukan soal menang atau kalah. Tapi soal menjaga Negara Kursi Berderit tetap aman sentosa.






