Agama  

Beribadah Karena Dunia

Beribadah Karena Dunia
Gambar Ilustrasi

Oleh Dede KS*

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda:

“تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَالدِّرْهَمِ، وَالْقَطِيفَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ.” أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ

“Celakalah hamba dinar, dirham, dan kain halus (qatīfah). Jika diberi ia ridha, namun jika tidak diberi, ia marah.” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini merupakan teguran bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Ath-Thībī, sebagaimana dikutip dalam Tuhfatul Ahwadzi, beliau berkata, “Disebut dengan kata ‘hamba’ untuk menunjukkan betapa ia tenggelam dalam kecintaan terhadap dunia dan syahwatnya, seperti seorang tawanan yang tidak menemukan jalan keluar.” Artinya, hatinya terikat kuat pada dunia.

Dia lebih mencintai dunia dibandingkan ketaatan kepada Allah, menghabiskan seluruh waktunya untuk mengumpulkan harta duniawi serta lupa pada tujuan pencipta-Nya untuk mengabdi kepada-Nya.

Baca Juga:  Berlindung dari Penyakit Hati dan Fisik: Meneladani Doa Rasulullah Saw.

Sekalipun dia beribadah namun ibadahnya diniatkan untuk mendapatkan keuntungan duniawi dan bukan sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya. Ia beribadah bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi untuk mencapai keinginan duniawi. Orang seperti ini pada hakikatnya telah menjadikan dunia sebagai “tuhannya”, sebab hatinya terikat pada dunia, bukan pada ridha Allah Swt. Maka tidak heran jika hatinya kecewa dan marah ketika apa yang diinginkannya tidak tercapai. Allah menggambarkan sifat ini dalam Al-Qur’an:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

“Dan di antara mereka ada yang mencelamu dalam pembagian sedekah; apabila mereka diberi sebagian darinya, mereka rela, tetapi apabila mereka tidak diberi, maka mereka marah.” (QS. at-Tawbah [9]: 58)

Ayat ini menggambarkan sifat orang munafik yang beribadah dan beramal bukan untuk mencari ridha Allah, tetapi demi kepentingan dunia. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana penghambaan kepada Sang Pencipta justru dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan materi, kedudukan, atau popularitas. Hati mereka tidak tertuju kepada Allah, melainkan kepada manfaat dunia.

Demikianlah orang-orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan di dalam beribadah, mereka merasa bahagia dan puas ketika tujuannya tercapai, ketika mendapat harta, pujian, atau kemudahan hidup, namun menjadi kecewa dan marah ketika Allah tidak memberikan apa yang mereka harapkan. Bahkan timbul keraguan atas amal-amal yang telah dikerjakannya. Mereka mempertanyakan nilai dan manfaat ibadahnya hanya karena tidak melihat hasil duniawi yang segera tampak.

Pandangan Ulama tentang Ibadah Demi Dunia

Ibadah sejatinya adalah segala amal yang dilakukan dengan niat mencari keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Ketika seseorang beribadah hanya demi kepentingan dunia — untuk harta, kedudukan, atau pujian manusia — maka ia telah menyimpang dari keikhlasan dalam beribadah.

Menurut penjelasan Syaikh ‘Abdurraḥmān as-Sa‘dī sebagaimana dikutip dalam Taudhih Al-Ahkam, seseorang yang beramal semata-mata demi dunia tanpa sedikit pun niat untuk mencari keridaan Allah dan pahala akhirat, tidak akan memperoleh balasan apa pun di sisi-Nya. Semua amalnya akan sia-sia karena tujuan yang ia cari berhenti pada kehidupan dunia. Amal seperti ini, kata beliau, tidak mungkin dilakukan oleh seorang mukmin sejati, sebab orang beriman — meskipun imannya lemah — pasti masih memiliki keinginan untuk mendapatkan ridha Allah dan kebahagiaan akhirat.

Baca Juga:  Teknologi Harus Menaikkan Ghirah, Bukan Melahirkan Kemalasan

Namun, jika seseorang beramal dengan niat ganda, yakni karena Allah dan untuk kepentingan dunia, maka ia tetap tergolong mukmin. Hanya saja, iman, tauhid, dan keikhlasannya menjadi tidak sempurna, sebab niatnya telah tercampur. Ia telah kehilangan derajat keikhlasan tertinggi, karena hatinya tidak sepenuhnya tertuju kepada Allah.

Adapun orang yang beramal murni karena Allah, tetapi kemudian menerima imbalan duniawi untuk menunjang pelaksanaan amalnya — seperti gaji guru agama, prajurit yang menerima ghanīmah, atau pengurus masjid yang diberi nafkah — maka hal itu tidak mengurangi keikhlasannya. Sebab dunia yang diterimanya bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menegakkan agama dan berkhidmat kepada Allah.

Peringatan dari Al-Qur’an

Allah Ta‘ala memperingatkan dalam firman-Nya:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ۝ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang di akhirat tidak memperoleh apa pun kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka kerjakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka usahakan.” (QS. Hūd [11]: 15–16)

Baca Juga:  Generasi yang Tak Kenal Nyerah

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbās RA menafsirkan ayat di atas (dengan mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat riya akan diberi balasan atas amal baik mereka di dunia, seperti kedudukan dan kemuliaan, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa di akhirat. Barang siapa beramal saleh hanya untuk mencari keuntungan dunia — seperti salat, puasa, atau qiyamullail — namun tidak melakukannya kecuali demi dunia, maka Allah berfirman: ‘Aku akan memberikan kepadanya apa yang ia cari di dunia, namun amalnya akan gugur dan ia akan menjadi orang yang merugi di akhirat.’”

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang beramal hanya demi dunia akan mendapatkan balasannya di dunia, tetapi tidak akan memperoleh pahala di akhirat. Semua amalnya terhapus karena tidak dilakukan untuk Allah. Namun hal yang pasti adalah dia tidak akan memperoleh apapun di akhirat, sebab kemutlakan ayat ini dibatasi dengan ayat lain. Yang mana Allah Swt. berfirman:

مَّن كَانَ يُرِيدُ ٱلْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُۥ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُۥ جَهَنَّمَ يَصْلَىٰهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Israa: 18)

Ungkapan “bagi orang yang kami kehendaki” pada ayat ini menunjukan bahwa tidak semua orang yang meniatkan ibadahnya karena dunia akan Allah berikan balasan amalnya di dunia. Artinya orang yang memang tidak dikehendaki oleh Allah atas balasannya di dunia mendapatkan dua kerugian. Di dunia tidak mendapat apa-apa, di akhirat kehilangan pahala amalnya.

Bagaimana Memaknai Dalil Yang Menyebutkan Balasan Dunia?

Dalam Al-Qur’an dan hadits, sering disebutkan bahwa sebagian amal kebaikan mendatangkan balasan di dunia, seperti kehidupan yang baik, panjang umur, rezeki yang lapang, atau keselamatan dari musibah. Misalnya, Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Atau sabda Nabi,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga:  Tawadhu Sebagai Solusi dari Kesombongan dan Kedzaliman

Ayat dan Hadis ini, dan banyak dalil lainnya, menunjukkan bahwa Allah memang menjanjikan sebagian balasan amal di dunia, namun bukan berarti hal itu agar dijadikan tujuan dalam beramal.

Dalil-dali seperti ini dapat dipahami dari dua sisi:

1. Balasan itu sebagai jaminan
Balasan dunia adalah jaminan dari Allah bagi hamba-Nya yang beramal soleh dengan niat yang tulus. Ini merupakan bentuk kasih sayang Allah terhadap orang yang menaati-Nya yang Ia segerakan di dunia. Ini merupakan efek samping dari amal soleh, bukan tujuan dari amal itu sendiri. Ibarat kita sedang lapar lalu memakan makanan yang manis, tanpa harus diniatkan untuk merasakan manis, rasa manis itu pasti akan terasa. Tujuan kita dari makanan tersebut adalah untuk menghilangkan lapar. Demikianlah ibadah tanpa diniatkan untuk mendapatkan kebaikan di dunia, maka kebaikan itu pasti akan didapatkan.

2. Balasan itu sebagai ujian keikhlasan
Balasan dunia juga merupakan ujian bagi keikhlasan. Apakah manusia akan tetap ikhlas atau berpaling pada niat mendapatkan balasan dunia? Ketika seseorang beramal lalu melihat hasilnya berupa kemudahan atau harta, apakah ia tetap akan beramal karena Allah, ataukah hatinya mulai terpaut pada hasil yang ia peroleh? Dan apabila Allah tidak menyebutkan balasan di dunia akankah tetap termotivasi untuk beramal?

Agar Hati Selalu Ikhlas dan Tidak Mudah Bosan dalam Beribadah

Menjaga keikhlasan dalam beribadah bukanlah perkara mudah. Hati manusia mudah berubah, niat sering kali bergeser, dan semangat ibadah kadang menurun. Karenanya, paling tidak ada dua hal yang harus kita sadari:

1. Kesadaran bahwa Allah berhak untuk disembah
Sudah sepantasnya Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan memelihara untuk disembah oleh makhluk-Nya. Sehingga tidak mesti penghambaan seseorang kepada-Nya bersifat transaksional. Seperti yang diungkapkan dalam sebuah lagu:

Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkan kau bersujud kepadaNya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut namaNya
Bisakah kita semua
Benar-benar sujud sepenuh hati
Karna sungguh memang Dia
Memang pantas disembah
Memang pantas dipuja

Walaupun demikian, dalam konteks ibadah untuk mendapatkan pahala dan keselamatan di akhirat tidaklah mengapa.

2. Kesadaran bahwa dunia ini fana
Kesadaran kedua adalah bahwa dunia ini fana dan sementara, sedangkan akhirat bersifat kekal. Maka sangat disayangkan jika seseorang menukar pahala amal ibadah untuk dunia yang sementara.

Seseorang yang memahami bahwa dunia hanyalah tempat singgah akan memandang ibadah sebagai bekal perjalanan menuju akhirat. Ia akan terus beribadah dengan penuh semangat meski tidak memperoleh hasil duniawi, sebab yang ia kejar adalah balasan dari Allah di akhirat yang kadar kenikmatannya jauh lebih besar dari kenikmatan dunia.

Wallahu ‘alam

*Penulis adalah dosen IAI Persis Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *