
Oleh Herdiana*
Ayat yang paling sering dikutip untuk membenarkan kekerasan atas nama agama justru adalah ayat yang berbicara tentang menolak agresi, bukan memulai permusuhan. Allah berfirman:
“Dan perangilah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan…” (QS. Al-Baqarah [2]: 191)
Namun, sejak lama ayat ini kerap disalahartikan. Kata fitnah sering dipahami sebatas “kekacauan” atau “kerusuhan sosial”. Padahal, para ulama tafsir besar seperti Imam Fakhruddin ar-Rāzī menjelaskan bahwa fitnah yang dimaksud bukanlah gangguan keamanan, melainkan pemaksaan untuk keluar dari iman dan penindasan terhadap keyakinan.
Makna Fitnah dalam Tafsir Klasik
Ar-Rāzī menulis dalam Tafsīr al-Kabīr:
“Asy-syirk wa al-shadd ‘an sabīlillāh a‘ẓamu jurman min al-qatl”
(Kesyirikan dan penghalangan manusia dari jalan Allah adalah dosa yang lebih besar daripada pembunuhan).
Artinya, fitnah adalah kekerasan terhadap keyakinan—pemaksaan yang membungkam kebebasan hati manusia untuk beriman. Jadi, ayat ini bukan dalil untuk memerangi orang yang berbeda pandangan, melainkan seruan agar umat beriman tidak tunduk pada agresi yang menindas nilai keadilan dan kebebasan beragama.
Jihad: Reaksi, Bukan Inisiatif Kekerasan
Imam ar-Rāzī juga menegaskan bahwa kalimat fa in qātalukum faqtulūhum (“jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka”) adalah bentuk pembelaan diri.
Dengan kata lain, jihad dalam konteks ini adalah tindakan reaktif terhadap agresi—bukan ekspansi, dominasi, atau alat politik. Maka, jihad sejati adalah perlawanan terhadap penindasan, bukan kekerasan terhadap perbedaan.
Namun ironisnya, ketika kata fitnah diterjemahkan secara keliru sebagai “kekacauan”, muncul legitimasi bagi tindakan represif. Setiap suara kritis bisa dibungkam atas nama “mencegah fitnah”.
Padahal, justru diam terhadap ketidakadilanlah fitnah yang sesungguhnya. Ketika umat takut bersuara terhadap penyimpangan kekuasaan, ketika kebenaran ditahan karena khawatir menimbulkan “fitnah”, maka di sanalah ayat ini berbalik arah—dari ayat pembebasan menjadi alat penindasan.
Fitnah dalam Konteks Kebijakan Publik
Jika dibaca dengan semangat aslinya, fitnah dapat diterjemahkan ke dalam konteks kekinian sebagai segala bentuk agresi terhadap nurani publik—pemaksaan kebijakan, pembungkaman opini, dan penyeragaman berpikir.
Beberapa contohnya adalah:
- Ketika negara menggunakan hukum untuk membungkam kritik, itulah fitnah terhadap kebenaran.
- Ketika organisasi masyarakat menindas wacana yang berbeda, itulah fitnah terhadap akal sehat.
- Dan ketika di rumah tangga kepala keluarga menutup ruang dialog dan menjadikan otoritasnya sebagai kebenaran tunggal, itulah fitnah terhadap kasih sayang.
Maka, melawan fitnah berarti melawan segala bentuk penindasan terhadap kebebasan berpikir dan beriman—baik dari negara, lembaga, maupun relasi kekuasaan terkecil di rumah sendiri.
Keadilan sebagai Jantung Jihad
Dalam pandangan ar-Rāzī, jihad bukan hanya pertempuran fisik, tetapi juga komitmen terhadap keadilan. Allah tidak memerintahkan perang demi darah, melainkan demi kebebasan manusia dari penindasan batin.
Ketika umat Islam melupakan dimensi moral itu, jihad berubah menjadi slogan kosong yang kehilangan makna. Itulah sebabnya ar-Rāzī menutup tafsir ayat ini dengan kalimat tajam:
“Tujuan dari semua perintah ini adalah menjaga agama dan menolak fitnah (kezaliman), bukan mencintai perang atau agresi.”
Artinya, jihad sejati adalah jihad melawan fitnah dalam bentuknya yang paling aktual: korupsi moral, ketidakadilan sosial, dan tirani politik.
Menjaga Diri dari Fitnah, Menjaga Dunia dari Kekerasan
Makna jihad sebagai pertahanan terhadap agresi memberi arah moral bagi kehidupan modern kita. Setiap tindakan yang menolak penindasan dengan ilmu, tulisan, advokasi, dan keberanian moral adalah bagian dari jihad.
Sebaliknya, setiap kekerasan yang berawal dari kebencian—bukan dari keadilan—sejatinya adalah fitnah itu sendiri.
Karena itu, siapa pun yang masih mengutip “fitnah lebih kejam dari pembunuhan” untuk membungkam perbedaan, sesungguhnya sedang memperpanjang rantai fitnah yang dulu ditentang oleh wahyu.
Jihad bukan tentang memerangi orang, tetapi tentang menolak dipaksa diam ketika kebenaran diinjak. Itulah makna jihad yang defensif, luhur, dan abadi—jihad yang menjaga manusia agar tetap merdeka di hadapan Tuhan, bukan tunduk di bawah kekuasaan sesama.
*Penulis: Aktivis dan pemerhati gerakan sosial






