Ketika Sabar Menjadi Sajak: Sebuah Renungan Tentang Hujan, Hati, dan Letting Go

Ketika kesabaran menjadi sajak: hujan, cinta dan letting go
Foto: Gak ada relevansinya dengan tulisan

 

Oleh Nurdin Qusyaeri

Di tengah badai yang tak pernah kita undang, ada sebentuk kesabaran yang tumbuh seperti akar-akar yang diam-diam mencengkeram bumi. Ia bukan diam yang pasif, melainkan gerilya batin melawan gelombang keinginan untuk memberontak.

Bentuk kesabaran tertinggi, kata langit pada bumi yang retak oleh kemarau, adalah saat kau bertahan di puing-puing mimpi yang tak kau pilih, sambil berbisik lirih: “Aku percaya, Engkau menempatkanku di sini bukan tanpa alasan.” Allah tak pernah salah geografi.

Di setiap koordinat nestapa, ada kepingan hikmah yang sedang diukir-Nya menjadi mozaik masa depan—kita hanya perlu mata yang cukup sabar untuk melihatnya.

Hidup ini seperti angin yang tak bisa dikepung dalam sangkar ekspektasi.

Tak semua keinginan akan tiba sesuai skenario, dan memaksanya adalah seperti menanam kaktus di rawa: akarnya membusuk, batangnya layu, dan kita hanya menyisakan ilusi tentang kebun yang gagal mekar.

Di sini, kita belajar tentang keindahan hati yang lapang—ruang tanpa dinding di mana kekecewaan bisa berlalu seperti awan, tanpa meninggalkan jejak racun.

“Berdamai dengan keadaan,” tulis angin di daun-daun yang berguguran, “bukan tentang menyerah, tapi tentang merelakan tangan menggenggam longgar—agar Allah bisa memasukkan sesuatu yang lebih besar ke dalam genggamanmu.”

Tapi hati—ah, hati—adalah medan perang yang paling sunyi. Qolbu yang mati rasa adalah tragedi tanpa nisan.

Ia tercipta ketika kita membiarkan dosa menumpuk seperti debu di cermin jiwa, ketika zikir terlupakan hingga lidah mengering dari basuhan nama-Nya, atau ketika kita tersesat dalam labirin dunia yang menjanjikan cahaya palsu.

Hati yang tertutup adalah penjara tanpa jeruji: petunjuk Allah hanya menggema dari kejauhan, seperti suara azan yang tenggelam dalam riuh pasar.

Baca Juga:  Quick Count Menangkan Dadang - Ali: Bukti Kepemimpinan Inklusif yang Dirindukan

“Bagaimana mungkin kita mendengar bisikan-Nya,” keluh burung gereja di pagi buta, “jika telinga jiwa kita tuli oleh gemerincing nafsu?”

Namun, di balik kabut itu, ada fajar yang menanti. Jiwa yang tenang adalah samudra yang tetap jernih meski badai mengamuk. Ia tak terguncang oleh ombak masalah karena dasarnya tertambat pada tali Allah.

Pikiran yang jernih adalah pedang yang membelah ilusi, memisahkan kebenaran dari fatamorgana keinginan. Dan rasa yang positif adalah sayap-sayap yang membawa kita melintasi gunung ujian tanpa lelah. “Ketenangan,” bisik embun di ujung daun, “bukan hadiah untuk yang sempurna, tapi hadiah untuk yang ikhlas melepaskan.”

Maka, pejamkan matamu. Rasakan bagaimana nafasmu naik-turun seperti ombak yang berbisik pada bibir pantai. Kosongkan hatimu dari kusut dendam, dari jerat ekspektasi, dari belenggu “seharusnya” dan “seandainya”.

“Close your eyes, clear your heart, and let it go,” desau angin di antara dahan-dahan tua. Melepaskan bukanlah kekalahan—ia adalah gerakan elegan jiwa yang memilih percaya bahwa Allah sedang menulis cerita indah di balik halaman-halaman yang robek. Di setiap situasi yang kita anggap salah tempat, ada benih mukjizat yang diam-diam berkecambah.

“La tahzan, innallaha ma’ana,” gumam rindu di tengah malam. Jangan bersedih, karena Allah tak pernah absen.

Dia ada dalam rintik hujan yang membasahi pipi, dalam desahan doa yang tersangkut di tenggorokan, dalam detak jantung yang masih mau berdegup meski lelah.

Sabar adalah bahasa cinta kita pada-Nya—cara kita berkata, “Aku tak mengerti, tapi aku percaya.”

Dan pada akhirnya, ketika kita berani membuka mata setelah lama memejamkannya, kita akan tersenyum. Berdamai dengan keadaan ternyata bukan tanda kalah, melainkan kemenangan jiwa yang menemukan oasis ketenangan di padang pasir yang paling gersang.

Baca Juga:  Melangkah ke Ruang Ilmu: Dari Kegugupan Menuju Koneksi

Seperti Nabi Yusuf yang bersabar di sumur gelap, di penjara, dalam fitnah—Allah akhirnya mengangkatnya menjadi cahaya Mesir. Begitulah sabar: ia adalah tanah subur tempat mukjizat bertunas.

Maka, biarkan hidup mengalir seperti sungai. Tak perlu melawan arus, tak perlu memaksa belokan. Percayalah—Allah tak pernah terlambat menepati janji.

Di balik malam yang kelam, fajar sedang menyiapkan kuningnya.

Di balik air mata, ada tangan-Nya yang sedang merajut bahagia.

Wallahu ‘alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *