dok.republika
Sahabat Muslim, mari berkumpul sejenak! Ayo kita meneladani sifat baginda nabi Muhammad Saw biar menjadi jalan cahaya bagi kita dan seluruh alam.
Dalam Kalender Islam kebetulan hari ini adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, jadi tinggalkan dulu urusan PON, Pilkada, atau sekadar Fufufafa. Yuk, kita bahas tentang bagaimana meneladani Nabi di era kecerdasan buatan (AI) ini.
Bayangkan kita sedang berbincang santai di teras masjid bersama seorang kiyai kampung. Santai saja, sambil bercanda sedikit, namun tetap dengan pemikiran yang mendalam. Pertanyaan yang diajukan adalah, kenapa banyak Muslim kesulitan meneladani Nabi Muhammad Saw? Mari kita telusuri beberapa alasan klasik yang sering muncul.
Pertama, kurangnya pemahaman. Ini seperti orang yang beli barang elektronik, tahu barangnya bagus dan manfaatnya banyak, tapi malas baca buku panduan. Analogi ini pas untuk kita yang sering ‘skip tutorial’ dalam menjalani hidup sesuai tuntunan Nabi. Panduan hidup dari Nabi sudah lengkap, tapi kita seringkali memilih jalan pintas. Ujungnya, kita ingin hasil maksimal tanpa mau mengikuti langkah-langkah yang sudah diajarkan.
Kedua, pengaruh budaya. Kadang, kita lebih mengutamakan budaya lokal dibandingkan ajaran Nabi. Misalnya, tren berpakaian kekinian sering kali dianggap lebih penting daripada nilai kesederhanaan yang diajarkan Nabi. Nabi memang menghormati budaya lokal, tapi itu tidak berarti kita boleh menukar prinsip utama Islam demi mengikuti tren yang sementara.
Ketiga, kehidupan modern yang serba sibuk. Banyak yang merasa bahwa zaman sekarang jauh lebih kompleks dibandingkan zaman Nabi. Namun, mari kita ingat, di zaman Rasulullah, tantangannya juga tidak kalah berat. Mereka berdagang, berperang, berdakwah, dan membangun peradaban. Tetapi kita justru sering menggunakan alasan “sibuk” untuk membenarkan ketidakmampuan meneladani Nabi, padahal sering kali kita hanya sibuk scrolling di HP.
Keempat, keteladanan pemimpin yang kurang memadai. Kadang-kadang, kita melihat pemimpin agama atau masyarakat yang tidak konsisten antara kata dan tindakan. Akibatnya, kita lebih terhibur oleh tingkah laku mereka ketimbang mengambil hikmah dari ajaran yang disampaikan. Padahal, Nabi Muhammad Saw adalah contoh sempurna dari seorang pemimpin yang hidupnya bisa kita teladani sepenuhnya.
Kelima, pengaruh media sosial. Di era digital, media sosial menjadi tempat baru yang sering kali lebih berpengaruh dibandingkan masjid atau majelis ilmu. Tantangannya adalah, konten viral yang lebih sering berisi hal-hal yang kurang esensial dibandingkan nilai-nilai yang diajarkan Nabi. Akibatnya, kita lebih takut tertinggal tren daripada tertinggal dalam meneladani Nabi.
Keenam, krisis identitas. Banyak Muslim yang, terutama di dunia maya, merasa harus mengikuti gaya hidup yang berbeda dari ajaran Islam. Mereka lebih peduli pada citra di Instagram dibandingkan bagaimana mereka akan dilihat di akhirat nanti. Padahal, Nabi Muhammad Saw mengajarkan kebahagiaan sejati datang dari kesederhanaan dan ketaatan.
Dalam suasana Maulid ini, kita diingatkan bahwa hidup ini seharusnya tidak seberat yang kita bayangkan. Alasan-alasan yang kita buat untuk menjauh dari teladan Nabi terkadang berlebihan dan dibuat-buat. Di balik sindiran ini, ada pesan mendalam: meneladani Nabi butuh usaha dan kesadaran yang terus-menerus. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak mengikuti teladan beliau, kecuali kemalasan kita sendiri.
Mari kita mulai kembali mempelajari ‘panduan’ hidup yang telah diajarkan Nabi, sebelum kita salah melangkah di kehidupan yang penuh tantangan ini. Wallahu ‘alam.