Tangisan yang Tertahan Itu, Akhirnya Pecah Juga

Akhirnya tangisan itu, pecah juga
Foto Penulis: Tangisan ibu-ibu KPI B yang sudah tahap pendaftaran sidang munaqosah tahun 2025

Oleh Popi Sri Mulyani 

Tak ada yang tahu…

Betapa banyak malam yang dilalui dengan mata terbuka, bukan karena insomnia, tapi karena berjaga, menjaga waras, menjaga harap, menjaga mimpi agar tak runtuh begitu saja.

Tak ada yang benar-benar tahu…

Bahwa saat orang lain terlelap di balik selimut hangat,

kau duduk sendiri di meja penuh kertas kusut,

laptop yang hangat karena tak pernah mati, dan tanganmu gemetar, mencoba lagi… dan lagi… dan lagi…

Air mata yang dulu kau telan dalam-dalam, karena kau tak ingin anak-anak melihatmu rapuh.

Tangis yang kau bisikkan di sepertiga malam,

karena kau malu memperlihatkan luka pada dunia yang terus menuntutmu kuat.

Kau berlari di antara ribuan tugas,

menyusui sambil mengetik,

menyapu sambil menyusun teori,

mengurus suami, rumah, rapat jam’iyyah,

lalu diam-diam memungut serpihan waktu yang tercecer,

untuk kau rakit jadi skripsi kehidupan.

Berbulan-bulan kau bertahan dalam sunyi,

dalam revisi yang tak kunjung selesai,

dalam komentar dosen yang kadang mengiris seperti sembilu,

dalam lelah yang tak pernah terlihat—tapi membiru di bawah matamu.

Kau tidak hanya menulis skripsi.

Kau sedang menulis kisah perjuangan,

yang akan anak-anakmu baca suatu hari nanti,

dengan mata berkaca-kaca dan dada yang penuh bangga:

“Ibuku… tak pernah menyerah.”

Dan hari ini…

Akhirnya tangis itu pecah……..

Di depan tumpukan berkas yang sudah dijilid rapi.

Di depan teman seperjuangan yang dulu pernah kau peluk saat mereka ingin menyerah.

Tangismu bukan lagi karena lelah.

Bukan juga karena takut.

Tapi karena…

Allah menjawab doa-doa yang kau bisikkan dalam tangis yang tak didengar siapa-siapa.

Kini, setiap tetes air matamu adalah saksi.

Baca Juga:  Jejak Luka, Jejak Cinta

Saksi bahwa perjuangan itu nyata.

Bahwa kamu tak hanya lulus akademik,

tapi juga lulus dari ujian hidup yang tak semua orang sanggup menjalaninya.

Dan biarlah dunia tahu—bahwa ibu-ibu pejuang skripsi bukan hanya menulis bab demi bab,

tapi sedang membangun peradaban

dengan setiap huruf yang ditulis di tengah isakan,

di sela-sela cucian, dan di antara suapan untuk anak-anaknya.

Untukmu yang sudah sampai di titik ini…

Tangismu hari ini adalah kemenangan.

Dan kelak, sujud syukurmu hari ini—akan menjadi kisah yang kau bisikkan kepada cucumu:

“Dulu, Nenek pernah nyaris menyerah… Tapi Allah tak pernah meninggalkan.”

“Mereka tak tahu bagaimana kau berdarah, tapi hari ini… biarlah mereka melihat bagaimana kau berdiri dengan gagah.”

 

Response (1)

  1. Semakin dibaca semakin menetes air mata. Melihat perjuangan ibu-ibu di usia yang tak muda lagi dengan segala rintangan yang tak sama.entah itu gaptek, ujian keluarga, ujian ekonomi dan sederet lainnya. Namun semuanya menjadi senyuman dan gelak tawa saat bersama dengan orang² yang tersayang saling bantu menuntaskan tugas akhir ini🤍

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *