
Oleh Hendi Rustandi*
Apa itu bijaksana?
Bijaksana bukan sekadar kata manis untuk stiker motivasi di belakang truk. Ia juga bukan sekadar nasihat dari ustaz, guru, atau buku-buku self-help bercover pastel dengan judul panjang.
Bijaksana adalah pilihan. Rasanya seperti disuruh tersenyum padahal hatimu baru saja ditampar pakai panci panas.
Bijaksana adalah saat kamu menelan ludah sendiri yang pahit, lalu berkata kepada orang lain, “Nggak apa-apa kok.”
Padahal… APA-APA BANGET.
Siapakah yang bijaksana itu?
Untuk siapa sebenarnya kebijaksanaan itu?
Untuk dia yang dikehendaki, dihina, dijatuhkan, tapi tetap diam… karena katanya, sabar itu sebagian dari iman.
Untuk dia yang diperlakukan tidak adil, tapi dilarang membalas… karena katanya, memaafkan itu lebih mulia.
Untukmu, yang tengah malam menangis dalam sujud sambil berkata kepada Allah:
“Ya Allah, aku tahu Engkau suruh sabar. Tapi jujur… aku marah banget. Aku capek. Kenapa aku harus terus mengalah?”
Tapi ketika subuh tiba, kamu bangun, kamu senyum, dan kamu lanjut hidup.
Itu… bijaksana. Dan ya, itu perih.
Untuk apa bijaksana?
Bukan untuk menjadi malaikat—karena manusia mana bisa?
Tapi agar kita tidak hancur oleh balas dendam.
Agar kita tidak kehilangan hati nurani karena luka.
Agar hati kita tidak berubah menjadi besi tua berkarat—keras, dingin, dan berat.
Bijaksana itu bukan untuk menang…
Tapi agar jiwa kita tetap hidup, di dunia yang makin bising dan penuh ego.
Kisah Edo dan Ayah Mertuanya
Edo baru menikah dua bulan. Suatu hari, ayah mertuanya berkata:
“Kamu tuh laki-laki, harusnya kerja di luar, bukan ngetik-ngetik doang depan laptop. Mau ngasih makan anak saya pakai wifi?”
Edo diam. Mukanya tegang. Tangannya gemetar.
Apa yang dikatakan itu bukan hanya salah, tapi juga menginjak harga diri.
Istrinya melihat dari dapur, bingung.
Edo ingin membalas. Ingin berkata,
“Pak, gaji saya dari laptop ini bisa beli tiga kambing. Tapi Bapak nggak ngerti dunia digital.”
Tapi lidahnya tertahan. Ada suara kecil di dadanya berkata:
Tahan. Hormati orang tua. Walau pahit, meski kamu benar, bijaklah.
Malamnya, Edo menangis sendiri. Bukan karena lemah, tapi karena kuat menahan luka yang ingin dilawan.
Perintah Langit, Beban di Dada
Kadang kita bijaksana bukan karena mau, tapi karena harus. Karena Allah menyuruh, dan kita takut mengecewakan-Nya.
Kadang, kita bijaksana sambil menangis. Sambil mengeluh dalam doa:
“Ya Allah, aku sudah diam. Tapi Engkau lihat kan? Aku nggak pura-pura kuat, aku beneran remuk.”
Dan saat itu… saat kamu tetap mengutamakan adab, meski logikamu berteriak ingin melawan…
Itu bukan kelemahan.
Itu adalah kemenangan—meski tak terlihat.
Bijaksana itu seni. Bukan milik orang suci, tapi milik mereka yang mau belajar mencintai dengan kepala dingin dan hati hangat.
Terkadang, bijaksana itu tidak menegur, tidak membalas. Hanya mengerti… dan memberi ruang.
Dan jika kamu merasa terusik saat membaca ini, mungkin karena di dalam dirimu…
Ada kebijaksanaan yang sedang kamu perjuangkan.
*Jamaah Masjid, yang kadang lebih nyaman di shaf paling belakang.






