
Oleh DedeKS
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-: “إيَّاكُمْ والظَّنَّ؛ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- dia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jauhilah oleh kalian prasangka (buruk), karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya ucapan’” (HR. Bukhari dan Muslim).
A. Penjelasan Kosakata
إيَّاكُمْ:
Dalam posisi naṣb sebagai maf‘ūl bih (obyek) bagi fi‘il mahdzūf (kata kerja yang dihapus), dengan takdir (perkiraan) احذروا إيَّاكم — “Waspadalah kalian terhadap…”. Artinya:
“Jauhilah kalian…” atau “Waspadalah kalian terhadap…”
الظَّنَّ:
Dapat dianggap sebagai ma‘ṭūf (kata yang dihubungkan) pada إيَّاكم, atau sebagai maf‘ūl bih (obyek) dari fi‘il mahdzūf dengan perkiraan yang sama, yaitu احذروا الظنَّ “Waspadalah terhadap prasangka.” Artinya:
“prasangka” atau “dugaan tanpa dasar.”
Makna secara keseluruhan adalah, “Waspadalah kalian terhadap prasangka, dan lindungilah diri kalian dari prasangka buruk.” Yang dimaksud ialah, “Janganlah kalian berprasangka buruk terhadap seorang Muslim.”
B. Kandungan Hadits
Dalam kehidupan sehari-hari, prasangka sering kali muncul tanpa kita sadari. Ia berawal dari lintasan pikiran, lalu tumbuh menjadi dugaan, dan akhirnya bisa berubah menjadi keyakinan yang keliru. Karena itulah Rasulullah Saw. memperingatkan umatnya agar menjauhi prasangka.
Hadis ini menjadi pedoman penting bagi umat Islam untuk menjaga kebersihan hati dan pikiran dari penyakit batin yang tersembunyi, yaitu buruk sangka.
Makna Prasangka dalam Islam
Para ulama menjelaskan bahwa prasangka (dzann) adalah dugaan dalam hati tentang suatu perkara yang belum pasti—sesuatu yang masih mungkin benar dan mungkin salah. Kesalahan terjadi ketika seseorang memutuskan sesuatu berdasarkan prasangka yang tidak memiliki dasar bukti yang kuat, lalu memperlakukannya seolah-olah itu adalah kebenaran yang nyata.
Itulah bentuk prasangka yang dilarang oleh Nabi Saw. dalam sabdanya, “Jauhilah prasangka.” Artinya, jangan jadikan prasangka sebagai dasar penilaian terhadap seseorang, apalagi jika hal itu hanya berdasarkan dugaan tanpa bukti yang jelas.
Prasangka dalam Al-Qur’an
Allah Ta’ala juga menegaskan larangan serupa dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Ayat ini memberi penjelasan bahwa tidak semua prasangka berdosa, tetapi sebagian besar darinya berpotensi menjerumuskan ke dalam dosa. Para mufasir menjelaskan, yang dimaksud dalam ayat ini adalah prasangka buruk terhadap orang-orang yang tampak baik dan saleh. Seseorang yang zahirnya baik tidak boleh dicurigai tanpa sebab yang jelas, karena hal itu termasuk dosa besar yang merusak ukhuwah Islamiyah.
Kapan Prasangka Diperbolehkan?
Namun, tidak semua prasangka terlarang. Terhadap orang-orang yang telah dikenal fasik, curang, atau suka berbuat maksiat secara terang-terangan, prasangka buruk boleh muncul sejauh sesuai dengan tanda-tanda yang tampak. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda:
اِحْتَرِسُوا مِنَ النَّاسِ بِسُوءِ الظَّنِّ.
“Waspadalah terhadap kejahatan manusia dengan prasangka buruk kepadanya.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Artinya, berhati-hati terhadap orang yang terbukti suka menipu atau berbuat maksiat tidak termasuk dosa, asalkan tidak berlebihan dan tetap berdasarkan fakta yang jelas. Sebab hadis ini mengajarkan kewaspadaan, bukan kebencian.
Pandangan Ulama tentang Batasan Prasangka
Imam An-Nawawi memberikan penjelasan yang sangat penting. Menurut beliau, larangan dalam hadis ini ditujukan kepada mereka yang menetapkan tuduhan dalam hati dan terus-menerus meyakininya tanpa dasar. Adapun lintasan pikiran yang sekadar lewat dan tidak menetap dalam hati, maka itu tidak berdosa.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw.:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ.
“Sesungguhnya Allah memaafkan untuk umatku apa yang terlintas dalam hati mereka selama mereka tidak mengatakannya atau mengamalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Islam adalah agama yang memahami sifat manusia. Allah tidak menghukum lintasan pikiran yang sesaat, melainkan hanya ketika seseorang mengokohkannya menjadi keyakinan dan tindakan.
Empat Jenis Prasangka Menurut Az-Zamakhsyari
Imam Az-Zamakhsyari membagi prasangka menjadi empat jenis berdasarkan hukumnya, sebagai berikut:
Prasangka yang Haram:
Yaitu berprasangka buruk kepada Allah Ta’ala atau kepada seorang Muslim yang tampak adil dan saleh. Seseorang yang dikenal amanah tidak boleh dicurigai sebagai pengkhianat tanpa bukti.
Prasangka yang Wajib:
Yaitu berprasangka baik kepada Allah.
Prasangka yang Sunnah:
Yaitu berprasangka baik kepada sesama Muslim yang tampak adil.
Prasangka yang Mubah:
Yaitu berprasangka buruk kepada orang yang jelas-jelas fasik, atau yang telah tampak tanda-tanda kefasikannya.
Mengapa Prasangka Disebut “Ucapan Paling Dusta”
Nabi Saw. menyebut prasangka sebagai “sedusta-dustanya ucapan” karena hakikatnya ia adalah bentuk kebohongan—artinya tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Prasangka sering lahir dari hati yang kotor, iri, atau penuh ketakutan, sehingga melahirkan dugaan-dugaan yang tidak sesuai kenyataan.
Larangan berburuk sangka bukan hanya ajaran moral, tetapi bentuk perlindungan dari Allah agar umat Islam tidak saling mencurigai dan menebar kebencian. Hati yang bersih akan mudah berprasangka baik, sedangkan hati yang kotor akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain.
*Disarikan dari Kitab Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, karya ‘Abdullah Al-Basam