
Oleh Hendi Rustandi*
Dalam kehidupan sosial, kata-kata adalah aset yang nilainya bisa melebihi harta. Sebuah kata bisa menjadi penguat, penyemangat, bahkan penyembuh luka. Namun, kata yang sama juga bisa berubah menjadi pisau yang melukai, bahkan meluluhlantakkan apa yang selama ini dibangun.
Dampak Satu Kata Kasar
Baru-baru ini, publik digemparkan oleh kontroversi akibat ucapan seorang tokoh yang menyebut rakyat dengan kata “tolol”.
Kata itu sontak memantik amarah, membuat gelombang kekecewaan, dan bahkan berbuntut pada kerusakan harta benda. Puluhan kendaraan mewah dirusak, rumah dijarah, dan harga diri ikut dipertaruhkan.
Satu kata kasar, dampaknya bisa setara dengan puluhan miliar rupiah kerugian materi, belum lagi kerugian martabat yang jauh lebih mahal.
Menjaga Sikap dalam Merespons
Namun di sisi lain, tindakan perusakan dan penjarahan yang terjadi jelas tidak bisa dibenarkan. Menegur ucapan yang salah boleh, menyampaikan kritik itu perlu, tapi merusak harta benda bukanlah solusi. Kekerasan hanya akan menambah luka baru dalam kehidupan sosial kita.
Dari kasus ini, kita belajar bahwa menjaga lisan adalah kewajiban moral, apalagi bagi mereka yang berada di panggung publik.
Mereka harus paham bahwa satu kata saja bisa menentukan citra dan kepercayaan masyarakat.
Peran Masyarakat
Sementara bagi masyarakat, menjaga sikap dalam menyampaikan aspirasi juga tak kalah penting. Kritik tetap harus ada, tetapi dengan cara yang beradab, santun, dan bermartabat.
Kata memang bisa bernilai puluhan miliar—tapi bila dipilih dengan bijak, kata juga bisa jadi jembatan emas menuju kepercayaan, kehormatan, dan keberkahan.
*Penulis: Dosen dan Mahasiswa Doktoral
Editor: San