
Oleh Riyan Hidayatullah*
Sumpah Pemuda 1928 merupakan tonggak keberanian intelektual anak muda Nusantara untuk melampaui sekat kedaerahan serta menegaskan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Namun, setelah sembilan puluh tujuh tahun berlalu, semangat itu kini menghadapi ujian baru. Ujian tersebut adalah bagaimana maknanya dihidupi di tengah realitas sosial dan ekonomi yang semakin kompleks, khususnya di Jawa Barat.
Membaca Sumpah Pemuda dalam Angka IPP
Data Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Jawa Barat 2024 menunjukkan adanya peningkatan nilai menjadi 51,17, naik 1,5 poin dari tahun 2022. Sekilas, capaian ini tampak optimistis. Akan tetapi, peningkatan tersebut ternyata bersifat dangkal. Hanya dua domain yang menunjukkan perbaikan signifikan, yakni kesehatan dan kesejahteraan serta lapangan kerja.
Sementara itu, aspek krusial seperti pendidikan, partisipasi dan kepemimpinan, serta kesetaraan gender justru stagnan. Angka partisipasi pemuda dalam organisasi hanya 3,84%, dan mereka yang aktif memberi saran dalam rapat publik tidak sampai 5%. Bahkan, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi masih berada di angka 25,57%, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 31,45%.
Data tersebut mengonfirmasi adanya paradoks besar. Provinsi Jawa Barat dengan populasi muda yang mencapai hampir seperempat total penduduk justru menunjukkan semangat kolektif yang tersumbat oleh sistem sosial dan birokrasi yang kaku.
Dari Sumpah ke “Sumpal” Pemuda
Fenomena ini dapat disebut sebagai “Sumpal Pemuda”, yaitu kondisi ketika potensi besar generasi muda tersumbat oleh struktur sosial yang tidak adaptif. Pendidikan yang terfragmentasi, birokrasi yang menumpulkan inisiatif, dan budaya digital yang menciptakan keterasingan sosial menjadi tantangan nyata.
Pemuda Jawa Barat kini terhubung secara daring, tetapi terputus secara sosial. Mereka terdidik secara akademik, namun miskin ruang refleksi dan keberanian moral. Akibatnya, semangat persatuan yang dulu lahir dari kesadaran kritis dan idealisme intelektual kini menghadapi tantangan berupa stagnasi partisipasi dan lemahnya kepemimpinan sosial.
Membangkitkan Semangat Kebijakan Publik yang Berpihak pada Pemuda
Refleksi ini menantang kita untuk membaca kembali Sumpah Pemuda bukan sebagai teks sejarah, melainkan cermin tanggung jawab kebijakan publik dan sosial masa kini. Kebangkitan pemuda tidak cukup diukur dari angka IPP semata, tetapi juga dari sejauh mana mereka memperoleh ruang untuk berperan, memimpin, dan berinisiatif dalam kehidupan sosial.
Jika Sumpah Pemuda adalah simbol penyatuan identitas bangsa, maka tugas generasi kini adalah menghidupkan kembali nyala semangat tersebut dalam tatanan sosial yang adil, terbuka, dan partisipatif. Jawa Barat perlu membangun kembali ekosistem kepemudaan yang mampu memperkuat karakter, kepemimpinan, dan partisipasi sosial.
Dengan demikian, sumpah yang dahulu lahir dari keberanian intelektual tidak berubah menjadi sumpal akibat sistem yang menutup jalan juang mereka.
*Penulis: Ketua HIMA Persis Jawa Barat
Editor: San






