
Banjaran, Daras.id – Pasca peresmian aplikasi Sistem Manajemen Jam’iyah (SIMANJA) oleh PC Persis Banjaran, Ahad (12/10/2025), tim redaksi Daras.id berkesempatan mewawancarai Drs. Ery Ridwan Latief, M.Ag., anggota Penasehat PC Persis Banjaran sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bandung.
Dengan pengalaman panjang dalam organisasi dan kiprah nyata menjaga keharmonisan antarumat beragama, beliau memberikan pandangan kritis sekaligus optimistis tentang peran teknologi dalam pengelolaan organisasi dakwah.
Bagaimana Anda melihat momentum launching SIMANJA di PC Persis Banjaran?
Alhamdulillah, launching SIMANJA adalah bukti nyata bahwa jam’iyah kita tidak anti-perubahan. Kita justru merespons zaman dengan cara yang cerdas dan terukur.
Kemajuan teknologi harus—dan saya tekankan, harus—mampu memberikan dampak positif dan signifikan terhadap efektivitas dakwah. Kalau teknologi hanya dijadikan aksesori atau sekadar ikut-ikutan tren tanpa makna, itu sia-sia.
Namun jika teknologi dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi game changer dalam memenej pergerakan umat dalam berdakwah. SIMANJA adalah contoh konkret bagaimana teknologi mempermudah pengelolaan jam’iyah—dari data anggota, laporan keuangan, hingga komunikasi antarbidang. Ini bukan main-main. Ini adalah langkah strategis menuju pengelolaan organisasi yang modern, transparan, dan terukur.
Apa dampak positif teknologi yang harus tetap dipertahankan dalam konteks jam’iyah?
Ada tiga hal krusial yang harus kita pertahankan dan dorong terus-menerus.
Pertama, pengelolaan informasi dan komunikasi global.
Teknologi digital mempermudah kita berkomunikasi lintas geografis. Ini sangat berguna untuk pengembangan dakwah dan pendidikan. Bayangkan, dulu untuk koordinasi antar cabang butuh waktu berhari-hari. Sekarang, hitungan detik. Informasi penting bisa disebarkan secara cepat dan masif.
Tapi ingat, kemudahan ini harus diiringi kedisiplinan dan etika. Jangan sampai justru melahirkan kegaduhan internal atau penyebaran informasi yang tidak terverifikasi.
Kedua, kemudahan dalam tugas harian, terutama pengelolaan keuangan jam’iyah.
Dulu pencatatan manual sering menimbulkan masalah: data hilang, laporan terlambat, transparansi kurang. Dengan sistem digital seperti SIMANJA, semua bisa terekam dengan rapi, real-time, dan mudah diaudit.
Ini bukan sekadar soal teknis, tapi juga amanah. Keuangan jam’iyah adalah amanah umat. Transparansi dalam pengelolaannya adalah bentuk pertanggungjawaban kepada Allah dan kepada anggota jam’iyah.
Ketiga—dan ini yang paling penting—teknologi harus menjadi stimulus naiknya ghirah kepejuangan, bukan alasan untuk malas.
Ini yang harus kita waspadai. Jangan sampai digitalisasi malah membuat kita nyaman dan settle. “Ah, sudah ada aplikasi, sudah ada sistem, beres deh.” Salah besar!
Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Ia harus membuat kita lebih produktif, kreatif, dan semangat bergerak di lapangan. Kalau justru membuat kita malas turun ke jamaah, malas silaturahmi, atau malas pembinaan langsung, itu pertanda kita salah mengelola teknologi.
Ghirah kepejuangan lahir dari hati yang hidup dan semangat jihad fii sabilillah. Teknologi hanya mempermudah jalan, tetapi yang membuat kita sampai ke tujuan adalah niat dan kerja keras yang tak kenal lelah.
Anda menyinggung tantangan teknologi seperti penyebaran misinformasi. Bagaimana jam’iyah harus menyikapinya?
Betul. Teknologi itu ibarat pisau bermata dua. Ia bisa membangun, tapi juga bisa merusak. Salah satu ancaman terbesar di era digital adalah penyebaran misinformasi dan hoaks—baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena ketidakhati-hatian.
Kita harus punya sikap bijak dalam memanfaatkan teknologi. Artinya:
1. Verifikasi sebelum berbagi. Jangan asal forward atau share. Cek dulu kebenarannya. Ini bagian dari menjaga lisan—atau dalam konteks digital, menjaga jari kita.
2. Edukasi literasi digital kepada anggota jam’iyah, terutama pengurus dan muballigh. Mereka harus tahu cara membedakan informasi valid dan hoaks, menggunakan media sosial dengan etika Islam, serta menghindari polarisasi yang merusak ukhuwah.
3. Gunakan teknologi untuk menyebarkan kebenaran, bukan kebencian. Dakwah kita harus rahmatan lil ‘alamin. Konten yang disebarkan harus membawa pencerahan, bukan perpecahan.
Kalau kita bijak mengelola teknologi, insya Allah dampak positifnya jauh lebih besar daripada mudaratnya.
Apa harapan Anda untuk Persis ke depan, terutama dalam konteks digitalisasi dan peran organisasi?
Harapan saya sederhana tapi fundamental. Semoga Persis ke depan menjadi organisasi modern yang mampu meningkatkan ruhul jam’iyah yang inklusif serta berkontribusi menjadi penyeimbang pemerintahan daerah di setiap tingkatan.
Apa artinya?
Pertama, organisasi modern.
Persis harus berani bertransformasi. Tidak hanya dari sisi sistem dan teknologi, tapi juga manajemen, kepemimpinan, dan budaya kerja. Organisasi modern itu efisien, transparan, akuntabel, dan berbasis data. Namun tetap—dan ini penting—tidak kehilangan ruh dakwahnya.
Kedua, ruhul jam’iyah yang inklusif.
Persis harus semakin terbuka dan inklusif. Bukan berarti mengkompromikan prinsip aqidah, tetapi menyapa umat dengan cara yang lebih santun, membumi, dan relevan dengan zaman. Dakwah inklusif bukan melunakkan kebenaran, melainkan menyampaikan kebenaran dengan cara yang bijak dan penuh hikmah.
Ketiga, berkontribusi dan menjadi penyeimbang pemerintahan daerah.
Persis tidak boleh hanya sibuk dengan urusan internal. Kita harus engage dengan masyarakat luas dan pemerintah. Harus hadir sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar pengkritik.
Di tingkat daerah, Persis harus menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan—baik di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, maupun keagamaan. Kita menjadi penyeimbang: mengkritik ketika salah, mendukung ketika benar.
Sebagai Ketua FKUB Kabupaten Bandung, saya melihat langsung bahwa organisasi keagamaan yang proaktif dan berkontribusi nyata sangat dihargai—baik oleh pemerintah maupun masyarakat lintas agama.
Persis punya modal besar: tradisi intelektual yang kuat, jaringan pendidikan yang luas, dan kader-kader berkualitas. Modal ini harus dioptimalkan untuk pembangunan daerah dan menjaga harmoni sosial. Dengan begitu, Persis tak hanya dikenal sebagai organisasi dakwah, tapi juga organisasi yang berdaya dan bermanfaat bagi bangsa.
Pesan penutup untuk pengurus jam’iyah di seluruh tingkatan?
Saya ingin menutup dengan tiga pesan penting.
Pertama, jangan takut berubah.
Zaman berubah, tantangan berubah, maka kita pun harus berubah—tanpa kehilangan jati diri. Inovasi bukan pengkhianatan terhadap tradisi, tapi bentuk penghormatan kepada masa lalu sambil mempersiapkan masa depan.
Kedua, teknologi adalah kawan, bukan musuh.
Manfaatkan dengan bijak. Jangan biarkan teknologi menguasai kita. Kita yang harus menguasai dan mengarahkannya untuk kebaikan jam’iyah dan umat.
Ketiga, jaga ghirah kepejuangan.
Sistem boleh modern, aplikasi boleh canggih, tapi yang terpenting adalah hati yang hidup dan semangat yang menyala. Dakwah bukan hanya soal sistem, tapi soal jihad—perjuangan yang membutuhkan pengorbanan, keikhlasan, dan istiqamah.
Semoga Allah memberkahi langkah kita. Semoga Persis semakin maju, solid, dan bermanfaat bagi umat.
Wallahu a’lam bisshawab.
[Pewawancara: Tim Redaksi | Lokasi: Kantor Bersama PC Persis Banjaran | Ahad, 12 Oktober 2025]