
Bandung, Daras.id — Forum Dangiang Siliwangi bersama sejumlah organisasi masyarakat menggelar diskusi publik di Sekretariat AMS, Jl. Braga 25B, pada Selasa (7/10/2025). Diskusi bertema “Ada Apa dengan Program Bergizi Gratis di Jawa Barat?” ini menjadi ajang pertukaran gagasan dan kritik konstruktif terhadap pelaksanaan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pada awal tahun 2025.
Dalam pemaparannya, H. Maulana Yusuf Erwinsyah menyoroti bahwa pelaksanaan MBG di Indonesia masih terlalu terpusat dan belum memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi pemerintah daerah. Ia menyebut, “Program ini terkesan sebagai urusan pemerintahan absolut ketujuh,” menambah enam urusan absolut yang telah diatur dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Menurut Yusuf, karena sifatnya yang sangat sentralistik, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi kunci dalam memastikan pelaksanaan di lapangan berjalan efektif.
Pelajaran dari Negara Lain
Yusuf, yang juga merupakan anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, membandingkan pelaksanaan program serupa di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Kamboja, serta negara maju seperti Finlandia.
“Finlandia membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menyiapkan dasar hukum, teknis, dan kesiapan masyarakat sebelum meluncurkan makan siang gratis di sekolah,” jelas Erwinsyah. Ia menambahkan bahwa keberhasilan Finlandia berangkat dari kepercayaan (trust) dan partisipasi berbagai pihak, bukan semata-mata dari kebijakan pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, Indonesia meluncurkan MBG hanya dalam tiga bulan setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. “Kondisi ini ibarat membuat perahu sambil berlayar,” ujarnya. Keterbatasan waktu persiapan menyebabkan berbagai kekurangan dalam aspek teknis, regulasi, dan koordinasi antarinstansi.
MBG Bukan Sekadar Urusan Perut
Erwinsyah menegaskan bahwa program MBG tidak cukup hanya dilihat sebagai urusan penyediaan makanan.
“MBG bukan hanya urusan perut, tapi juga tentang pendidikan, tanggung jawab, dan pembentukan budaya hidup sehat,” ujarnya.
Menurut catatan yang dipaparkan, Finlandia bahkan melatih anak-anak tentang tata krama makan dan tanggung jawab sosial melalui program serupa. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi pendidikan dalam MBG sama pentingnya dengan aspek gizi itu sendiri.
Masalah Regulasi dan Kelembagaan
Dari sisi regulasi, Erwinsyah menyoroti bahwa kerangka hukum MBG masih terbatas pada aturan internal Badan Gizi Nasional (BGN). Beberapa peraturan seperti Peraturan BGN Nomor 1 Tahun 2024 hingga Nomor 4 Tahun 2025 baru mengatur aspek internal organisasi dan tata kerja, belum mencakup mekanisme pelaksanaan di daerah.
“Artinya, regulasi yang ada belum cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan dan akuntabilitas pelaksanaan di lapangan,” tegasnya.
Rekomendasi Penguatan Peran Daerah
Dalam rekomendasinya, Yusuf menekankan pentingnya penguatan peran pemerintah daerah serta kementerian/lembaga terkait dalam pelaksanaan dan pengawasan MBG. Selain itu, peningkatan kualitas logistik, keamanan pangan, dan standarisasi dapur menjadi fokus utama agar program ini tidak menimbulkan kekhawatiran publik.
“MBG harus menjadi program yang menyehatkan dan menyenangkan, bukan yang menimbulkan kekhawatiran,” kata Erwinsyah menutup diskusi.
Forum juga menekankan pentingnya penentuan penerima manfaat berdasarkan skala prioritas, agar penggunaan anggaran lebih efisien dan tepat sasaran. Dengan demikian, diharapkan Program Makanan Bergizi Gratis dapat benar-benar menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bukan sekadar proyek politik sesaat.
Kontributor: Ipur
Editor: San