
Oleh Herdiana
Ada memori kolektif yang terus berbisik di setiap peringatan Hari Santri: sebuah gambaran tentang sosok bersarung dengan kitab di tangan kanan dan bambu runcing di tangan kiri. Ini bukan romantisme semata, melainkan fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Mereka—para santri—tak hanya membaca ayat demi ayat kitab suci, tetapi menjadikannya nyala perlawanan ketika bangsa ini membutuhkan keberanian untuk berdiri.
Tanggal 22 Oktober 1945 bukan sekadar tanggal biasa. Hari itu, Resolusi Jihad digaungkan. Santri-santri muda dari pesantren di Jawa bergerak, bukan dengan retorika kosong, melainkan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Pertempuran 10 November di Surabaya menjadi saksi: santri adalah garda terdepan yang membuktikan bahwa iman bukan sekadar hafalan, tetapi tindakan. Bahwa ilmu agama bukan menara gading, melainkan kompas moral di tengah kegelapan.
Kini, puluhan tahun setelah asap mesiu mereda, muncul pertanyaan penting: masih adakah api itu?
Santri Bukan Sekadar Simbol
Di balik seragam sarung dan peci, di balik gelar “santri” yang kini melekat pada jutaan pemuda di pesantren-pesantren Nusantara, tersimpan tanggung jawab besar yang tak boleh luntur.
Santri sejati tidak dikenal karena atributnya, melainkan karena keberanian mereka berdiri ketika keadilan dirampas. Mereka dikenal karena tanggung jawab untuk membela yang lemah, terutama saat rakyat ditinggalkan oleh nilai-nilai yang seharusnya menjadi pegangan bersama.
Sayangnya, Pancasila—yang konon menjadi dasar negara—sering kali hanya menjadi jargon di upacara bendera. Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi ruh kehidupan berbangsa kini tergadai oleh kepentingan sesaat, oleh pragmatisme politik, dan oleh sikap apatis yang merasuki banyak kalangan.
Di sinilah peran santri menjadi penting. Mereka harus hadir bukan sebagai hakim yang memvonis, melainkan sebagai pengingat yang tegas. Santri seharusnya menjadi pelita yang menerangi jalan bangsa kembali menuju keadilan.
Pergulatan yang Tak Usai
Zaman memang berubah. Bambu runcing kini digantikan oleh smartphone. Medan pertempuran fisik telah bergeser ke ruang-ruang digital, ke arena pemikiran, dan ke ranah kebijakan publik.
Namun, esensinya tetap sama: santri tetap dipanggil untuk menjadi garda moral bangsa.
Ketika korupsi merajalela, ketika ketimpangan ekonomi kian menganga, dan ketika keadilan sosial hanya menjadi slogan, di manakah suara santri?
Ketika intoleransi mengancam kebhinekaan yang menjadi nafas bangsa ini, ketika kebencian disebarkan atas nama agama, di manakah kebijaksanaan santri yang konon ahli memahami teks-teks suci dengan penuh kedalaman?
Ini bukan tuduhan, tetapi refleksi bersama. Pertanyaan ini harus diajukan kepada setiap individu yang mengidentifikasi diri sebagai santri, kepada setiap lembaga yang mengemban amanah mendidik generasi santri masa depan.
Membangkitkan Api yang Redup
Hari Santri bukan sekadar perayaan masa lalu. Ia adalah panggilan untuk masa kini dan masa depan.
Peringatan ini mengingatkan bahwa warisan para santri pendahulu bukan hanya tentang kepahlawanan di medan laga, tetapi tentang semangat untuk tidak berdiam diri di hadapan ketidakadilan.
Santri hari ini dihadapkan pada tantangan yang berbeda, namun tak kalah berat. Globalisasi membawa arus nilai yang bertentangan dengan identitas kebangsaan. Materialisme menggerus kepedulian sosial, sementara individualisme mengikis solidaritas.
Di tengah semua itu, santri diharapkan menjadi benteng nilai-nilai kemanusiaan. Bukan benteng yang menutup diri, melainkan benteng yang melindungi dari arus destruktif peradaban modern.
Karena itu, jika api semangat itu mulai redup, saatnya menyalakannya kembali—bukan dengan nostalgia yang melankolis, tetapi dengan aksi nyata.
Santri harus kembali ke jalan para pendahulunya: menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi pembela bagi yang tertindas, dan menjadi cahaya bagi mereka yang kebingungan mencari jalan.
Sebuah Ajakan
Santri, ingatlah: kalian adalah pewaris Resolusi Jihad yang bukan sekadar perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman.
Kalian adalah generasi yang diharapkan mampu menerjemahkan ayat-ayat suci bukan hanya dalam tartil yang merdu, tetapi dalam tindakan nyata yang bermakna bagi kehidupan berbangsa.
Jangan biarkan gelar “santri” hanya menjadi label identitas tanpa substansi. Jangan biarkan sarung dan kitab hanya menjadi kostum tanpa karakter.
Sebab sejatinya, santri dikenal bukan dari apa yang ia kenakan, tetapi dari apa yang ia perjuangkan.
Di Hari Santri ini, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih layak menyandang nama yang sama dengan mereka yang dulu rela mati demi kemerdekaan? Apakah kita masih memiliki keberanian yang sama untuk berdiri tegak membela keadilan?
Jika jawabannya belum, maka inilah saatnya. Saatnya membangkitkan kembali api yang sempat redup. Saatnya membuktikan bahwa santri bukan masa lalu, tetapi masa kini dan masa depan bangsa ini.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Selamat Hari Santri. Semoga api perlawanan terhadap ketidakadilan tak pernah padam di dada kita.






