Satu Tahun Kepemimpinan Presiden Prabowo: Antara Janji Besar dan Realitas Lapangan

Satu Tahun Kepemimpinan Prabowo
Ilustrasi Presiden Prabowo Subianto. (Daras.id)

Oleh Januar Solehuddin, SHI., MH., C. Med.*

Satu tahun sudah masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan. Euforia kemenangan pemilu telah berganti menjadi ujian nyata di lapangan. Janji-janji besar tentang kedaulatan pangan, keadilan sosial, serta kemakmuran rakyat kini dihadapkan pada realitas birokrasi, ekonomi global, dan kompleksitas politik nasional. Dalam perspektif evaluatif, kepemimpinan Prabowo menghadirkan kombinasi antara ketegasan politik, pragmatisme kekuasaan, dan kehati-hatian ekonomi namun belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan bangsa.

Politik: Konsolidasi Kekuatan, Kemunduran Demokrasi

Secara politik, tahun pertama pemerintahan Prabowo ditandai oleh konsolidasi kekuasaan besar-besaran. Hampir seluruh kekuatan politik besar bergabung ke dalam pemerintahan, menciptakan koalisi superbesar yang nyaris meniadakan oposisi efektif di parlemen. Kondisi ini memang menciptakan stabilitas politik jangka pendek, namun juga menimbulkan tanda tanya serius: ke mana arah demokrasi Indonesia akan dibawa?

Minimnya oposisi menyebabkan ruang kritik dan pengawasan melemah. Demokrasi kehilangan tensi dialektik yang sehat, sementara pengambilan kebijakan semakin terpusat di lingkaran kekuasaan. Dalam teori politik modern, stabilitas tanpa oposisi sering kali berujung pada stagnasi dan keseragaman berpikir. Pemerintahan yang kuat di atas kertas bisa menjadi otoritarianisme halus jika tidak diimbangi dengan keterbukaan publik dan partisipasi masyarakat sipil yang aktif.

Baca Juga:  Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran Antara Capaian dan Tantangan

Ekonomi: Pertumbuhan Stabil, Keadilan Belum Merata

Di bidang ekonomi, capaian pemerintahan Prabowo patut diapresiasi. Pertumbuhan ekonomi nasional relatif terjaga di kisaran 5 persen, inflasi terkendali, dan nilai tukar rupiah relatif stabil di tengah ketidakpastian global. Namun, pertumbuhan itu belum sepenuhnya inklusif. Ketimpangan pendapatan antarwilayah masih lebar, dan sektor riil khususnya pertanian, perikanan, serta UMKM belum mendapat dorongan struktural yang kuat.

Program kedaulatan pangan yang menjadi janji kampanye utama masih bergelut dengan masalah klasik: lahan sempit, tata niaga tidak efisien, dan ketergantungan impor yang tinggi. Investasi asing memang meningkat, tetapi manfaatnya belum banyak dirasakan rakyat bawah. Pemerintah tampak lebih sibuk membangun infrastruktur dan citra kemandirian nasional, ketimbang menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkeadilan.

Dalam konteks teori pembangunan, pertumbuhan tanpa pemerataan justru melahirkan ketimpangan baru di mana stabilitas ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir kelompok ekonomi kuat. Jika hal ini dibiarkan, Prabowo berisiko mengulang kesalahan rezim sebelumnya: ekonomi tumbuh tanpa kesejahteraan sosial yang meluas.

Hukum: Ketegasan Tanpa Kepastian

Bidang hukum menjadi sorotan tersendiri. Pemerintah tampak berupaya menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum, terutama terhadap kriminalitas dan ancaman keamanan. Namun, di sisi lain, praktik hukum yang tebang pilih masih menjadi luka lama yang belum sembuh. Kasus-kasus besar yang bersinggungan dengan kekuasaan sering kali berakhir tanpa kejelasan hukum.

Reformasi institusi penegak hukum Polri, Kejaksaan, dan lembaga peradilan masih bersifat administratif, belum menyentuh aspek etik dan struktural. Dalam negara hukum modern, hukum seharusnya menjadi panglima, bukan alat kekuasaan. Namun satu tahun terakhir justru memperlihatkan kecenderungan penguatan otoritas dibanding independensi hukum.

Wacana revisi undang-undang, penguatan peran aparat, dan penyederhanaan prosedur hukum sering kali digunakan untuk menjustifikasi efisiensi, padahal berpotensi menggerus prinsip checks and balances. Keadilan hukum bagi rakyat kecil pun masih sebatas jargon. Biaya perkara mahal, akses keadilan terbatas, dan aparat penegak hukum yang kurang sensitif terhadap keadilan substantif menunjukkan bahwa reformasi hukum kita masih berjalan di tempat.

Baca Juga:  Hukum Dibunuh, Negara di Ambang Runtuh

Sosial: Polarisasi Mereda, Ketimpangan Bertahan

Secara sosial, patut diakui bahwa Prabowo berhasil meredakan ketegangan politik pasca pemilu. Narasi persatuan nasional yang dibangun cukup berhasil menurunkan suhu polarisasi di masyarakat. Namun, harmoni politik itu belum sepenuhnya terkonversi menjadi kesejahteraan sosial yang merata.

Kemiskinan struktural, pengangguran muda, dan kesenjangan layanan publik masih menghantui masyarakat bawah, terutama di daerah. Program bantuan sosial tetap berjalan, tetapi cenderung bersifat karitatif, bukan transformatif. Sementara itu, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perumahan layak masih menjadi tantangan besar.

Keadilan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tampak masih jauh dari kenyataan. Pemerintahan ini kuat dalam narasi nasionalisme dan ketahanan, namun lemah dalam pemerataan dan keberpihakan sosial. Jika satu tahun pertama adalah masa konsolidasi kekuasaan, maka tahun-tahun berikutnya seharusnya menjadi masa konsolidasi keadilan sosial.

Kesimpulan: Harapan dan Tantangan ke Depan

Satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo dapat digambarkan sebagai periode transisi dari retorika ke realitas. Secara politik, pemerintahan ini kuat; secara ekonomi, relatif stabil; namun secara hukum dan sosial, masih jauh dari harapan reformasi sejati. Tantangan terbesar ke depan bukan lagi membangun kekuasaan, tetapi membangun keadilan.

Jika tidak ada pergeseran paradigma dari kekuasaan ke keberpihakan, maka stabilitas yang dibangun hari ini bisa menjadi rapuh di masa depan. Rakyat menunggu bukti bahwa pemerintahan ini tidak hanya kuat, tetapi juga adil, transparan, dan berpihak pada yang lemah.

Sejarah tidak menilai dari seberapa besar kekuasaan dikuasai, melainkan dari seberapa besar kekuasaan digunakan untuk memperjuangkan kemanusiaan.

*Penulis: Praktisi Hukum & Penggiat Demokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *