
Oleh Nurdin Qusyaeri
YA ALLAH… Sungguh, kisah cinta tanah Palestina selalu terpahat dari rasa yang berbeda. Ia bukan sekadar lembaran romansa, tetapi luka dan puing yang disematkan pada kalbu.
Ada sepasang suami-istri, Akram Abu Baker dan sang istri. Sebuah nama yang bermakna “Maha Pemurah/mulia, Bapak dari Sang Perintis”.
Takdir memisahkan mereka ketika sang suami, Akram, harus dijebloskan ke dalam bilik-bilik penjara rezim penjajah, dihukum seumur hidup demi perjuangan, pergerakan dan keyakinannya.
Dengan hati yang hancur berderai, seorang lelaki yang mencintai istrinya melebihi segalanya justru memilih untuk memutuskan ikatan suci itu, yaitu menceraikannya.
Di matanya, itu adalah wujud cinta terakhir: membebaskan sang belahan jiwa dari kehidupan yang terpenjara dalam penantian tanpa ujung, dari hak-hak nafkah duniawi yang tak lagi sanggup ia berikan.
Namun, sang istri memilih jalur yang lain. Baginya, cinta adalah kesetiaan pada sebuah janji yang terpatri dalam denyut nadi.
Ia tak sudi janji “sampai maut memisahkan” ia langgar hanya karena dinding penjara dan terali besi.
Ia bertahan, menggenggam harapan yang nyaris tak bersisa, yakin bahwa di balik kesewenang-wenangan manusia, ada rencana Ilahi yang Maha Indah.
Dan Allah, sebaik-baik perencana, pun berbicara.
Setelah 23 musim berganti, setelah 23 tahun matahari terbit dan terbenam dalam kesendirian, sangkar besi itu akhirnya terkunci.
Akram Abu Baker dibebaskan, menjadi bagian dari pertukaran tawanan yang menghangatkan dada dunia.
Lalu, di tengah riuh rendah pembebasan, di antara lautan wajah yang menyambut, ada satu sosok yang pertama ia cari, dan yang pertama menyambutnya.
Wanita itu. Wanita yang dengan teguhnya menunggui sebuah janji selama seperempat abad.
Wanita yang mantan istrinya, yang kini kembali ia rangkul dalam dekapan yang tak lagi terhalang dinding penjara.
Mereka pun kembali menyatukan dua jiwa yang sebenarnya tak pernah terpisah. Dalam helaan nafas lega dan linangan air mata syukur, mereka menikah untuk kedua kalinya, mengukir ulang kisah cinta yang lebih manis dari madu, lebih kuat dari baja, dan lebih abadi dari penjara mana pun.
Inilah secuplik kisah mereka. Sebuah epik cinta sejati yang ditulis bukan di atas kertas, melainkan di atas lembaran-lembaran sejarah perjuangan dan keimanan.
Wallahu’alam
*Kisah ini diadaptasi dari akun Twitter Mas Gres