Dari Kampus Menuju Peradaban: Jejak 4 Pilar di IAI Persis Bandung

Dari Kampus Menuju Peradaban
Kegiatan Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan MPR RI dan Seminar Peradaban di Kampus IAI Persis Bandung (Foto: Istimewa)

Bandung, Daras.id – Di lantai tiga Gedung B Kampus IAI Persis Bandung, Selasa (30/9), sebuah forum akademik terselenggara dengan wajah berbeda. Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan MPR RI kali ini tidak berdiri sendiri, tetapi dipadukan dengan Seminar Pilar Peradaban yang digagas Ikatan Keluarga Alumni (IKA) IAI Persis Bandung.

Perpaduan ini melahirkan atmosfer yang unik. Sejak awal, acara dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh Nurdin Qusyaeri, M.Si., dilanjutkan menyanyikan lagu kebangsaan. Simbol yang sederhana namun sarat makna: nasionalisme dan spiritualitas hadir berdampingan di panggung kampus keagamaan.

Baca Juga:  Rapat Perdana Panitia Penggabungan IAI PERSIS–UNIPI: Antara Harapan, Kekhawatiran, dan Jalan Tengah

Kesinambungan Pesan: Spiritualitas dan Kebangsaan

Sekretaris Jenderal IKA IAI Persis Bandung, Herdiana (Kang Acil), dalam sambutannya menegaskan bahwa integrasi dua agenda tersebut bukanlah sekadar formalitas.

“Spiritualitas adalah penjaga kebangsaan. Kebangsaan sendiri merawat peradaban. Keduanya saling menguatkan,” katanya.

Dengan gaya ringan, Kang Acil menolak dikotomi VIP di forum ilmiah. Saat ditanya apakah kursi depan itu khusus bagi yang penting, ia menjawab,

“Tidak. Dalam budaya keilmuan, semua sejajar. Rekep dendeng papak sarua,” ucapnya, mengutip pepatah Sunda.

Antara Lembaran Panjang dan Ringkas

Sesi diskusi dipandu Dr. Lalan Sahlani, M.Ag., yang terlebih dahulu membacakan curriculum vitae kedua narasumber. Ia menggambarkan CV Prof. Jajang A. Rohmana “berlembar-lembar panjang” penuh karya akademik. Sementara CV M. Hoerudin Amin, alumni IAI Persis yang kini anggota DPR/MPR RI, “satu lembar singkat namun penuh pengaruh di tingkat kebijakan negara”. Perbandingan itu sontak memancing tawa dan tepuk tangan peserta.

Baca Juga:  IAI PERSIS Bandung Pulih dari Masa Transisi, Siap Melaju dengan Optimisme Baru

Prof. Jajang: Bandung dan Jalan Peradaban

Dalam paparannya, Prof. Dr. Jajang A. Rohmana mengutip catatan sejarawan Edi Eka Jati mengenai Bandung sebagai kota kosmopolitan Islam pasca abad ke-16, setelah masa Cirebon dan Banten.

Dari narasi sejarah itu, ia menekankan posisi kampus IAI Persis Bandung:

“Dari kampus inilah, gagasan ilmiah, spiritual, dan kebangsaan harus terus diproduksi. Kampus tidak hanya mencetak sarjana, tetapi menghidupkan peradaban.”

Hoerudin: Adab Guru, Harmoni, dan Refleksi Kebangsaan

Giliran M. Hoerudin Amin, S.Ag., M.H., tampil dengan nada reflektif. Ia mengawali dengan mengenang masa kuliahnya di IAI Persis Bandung, termasuk kebijakan kampus yang menolongnya melalui penangguhan pembayaran menjelang wisuda.

“Guru adalah peradaban. Dalam falsafah Jawa disebut: Guru, ratu, wong tuwo karo. Guru menempati posisi tertinggi, dan adab kepada guru adalah fondasi lahirnya peradaban,” tegasnya.

Hoerudin juga berbagi kisah tentang seorang teman seangkatannya yang keras mengkritik dosen hingga memilih tidak lulus. “Tapi ia masih bersama kita hari ini. Itulah harmoni—perbedaan tidak memutuskan persaudaraan,” katanya.

Baca Juga:  Mencintai Ilmu, Menyalakan Peradaban: Inspirasi dari Pidato Hoerudin Amin di IAI Expo 2025

Dari Petir hingga Algoritma

Hoerudin kemudian menguraikan gagasan-gagasan yang luas, menyatukan filsafat, sains, dan spiritualitas:

  • Perbedaan jangan disambut dengan kebencian. “Api jika disambut elektron akan meledak. Begitu pula perbedaan, jika ditanggapi dengan benci akan menimbulkan permusuhan,” katanya, mengilustrasikan dengan metafora petir.
  • Ilmu tidak bebas nilai. Ia mengkritisi dikotomi IPA–IPS, sambil menegaskan bahwa ilmu modern sejatinya berakar pada ulama, seperti Al-Khawarizmi pencipta algoritma.
  • Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai jiwa bangsa. Ia menyinggung lahirnya diksi tersebut dalam Pancasila, yang berhasil menjembatani perbedaan agama dan budaya Nusantara.
  • Dimensi pikiran manusia. Jin digambarkan sebagai produksi kerakusan, malaikat sebagai buah kebajikan. Pikiran manusia, katanya, mampu melahirkan dimensi semesta.
  • Budaya dalam Persis. Ia mengingatkan bahwa Persis pun terbuka pada ekspresi budaya, misalnya lewat lagu religius Panggeuing Batin karya Ustadz Syarif Sukandi yang dinyanyikan almarhumah Cicih Cangkurileung.

Menutup dengan Pesan Peradaban

Diskusi sepanjang sore itu menghadirkan dialektika yang hangat: antara teks sejarah, refleksi spiritual, hingga kritik terhadap arah ilmu pengetahuan di Indonesia.

Kang Acil menutup acara dengan menegaskan kembali pesan utama forum:

“Dari kampus, kita merajut peradaban. Spiritualitas menjaga bangsa, kebangsaan merawat peradaban. Di sinilah titik awalnya.”

(Daras.id, Newsroom)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *