
Oleh Ihsan Nugraha
Ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, mereka mewarisi sistem demokrasi yang telah menempuh perjalanan panjang sejak Reformasi 1998. Edward Aspinall, dalam analisisnya yang tajam, mengidentifikasi tiga fase penting perkembangan demokrasi Indonesia pascareformasi: fase transisi yang penuh harapan (1998–2004), fase konsolidasi semu yang stagnan (2005–2014), dan fase oligarkis-populis yang mengkhawatirkan (2014–sekarang).
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi momen penting untuk menilai ke arah mana demokrasi Indonesia berlayar. Apakah pemerintahan ini akan memperdalam karakter oligarkis-populis yang telah mengakar, atau justru membuka peluang bagi revitalisasi substansi demokrasi yang selama ini stagnan? Pertanyaan itu tidak hanya bersifat akademis. Ia menyentuh masa depan 280 juta rakyat Indonesia yang kehidupannya bergantung pada kualitas kepemimpinan politik di negeri ini.
Dari Jokowi ke Prabowo
Pemerintahan Joko Widodo (2014–2024) kerap disebut sebagai laboratorium fase ketiga demokrasi. Jokowi datang dengan citra pemimpin rakyat, namun demi stabilitas politik ia berkompromi dengan jaringan oligarki. Pembangunan infrastruktur yang masif memang memberi dampak ekonomi, tetapi juga membuka ruang akumulasi modal bagi konglomerat yang dekat dengan kekuasaan.
Prabowo, yang semula menjadi rival keras Jokowi, mewarisi jejaring tersebut. Dengan menggandeng Gibran—anak Jokowi—sebagai wakil, kesinambungan politik keluarga dan jaringan bisnis-partai terjaga tanpa jeda. Kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk menjadi calon wakil presiden memperlihatkan bagaimana institusi demokrasi bisa dibelokkan demi kepentingan politik.
Kampanye Prabowo–Gibran kemudian menunjukkan sintesis antara populisme dan teknologi digital. Prabowo, yang dahulu dikenal keras dan militeristik, tampil sebagai sosok “gemoy” di TikTok dan Instagram—hangat, lucu, dan dekat dengan rakyat. Gibran, di sisi lain, diposisikan sebagai simbol generasi muda yang modern dan efisien. Strategi ini terbukti efektif. Pasangan ini memenangkan pemilu dengan perolehan suara lebih dari 58 persen, didukung mayoritas partai besar.
Namun kemenangan tersebut sekaligus menandai kelanjutan pola oligarki lama. Koalisi besar terbentuk bukan karena kesamaan visi, melainkan karena kalkulasi kekuasaan. Hampir semua partai memperoleh jatah kursi menteri, menjadikan kabinet lebih mirip konsorsium kepentingan daripada tim dengan orientasi publik yang utuh.

Satu Tahun Pertama: Demokrasi yang Tak Bergerak
Setelah setahun berjalan, arah pemerintahan baru memperlihatkan lebih banyak kesinambungan daripada perubahan. Data empiris mendukung kesan ini.
Menurut The Economist Intelligence Unit, skor demokrasi Indonesia pada 2024 berada di 6,44 dari skala 10, turun dari 6,53 pada 2023 (Goodstats, 2025). Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Demokrasi Indonesia pada 2024 di angka 79,51 (BPS, 2025). Kedua data tersebut memperlihatkan stagnasi. Secara prosedural demokrasi masih berjalan, tetapi kualitasnya menurun.
Selain itu, ruang kebebasan sipil juga makin menyempit. Penggunaan UU ITE untuk menjerat pengkritik, revisi sejumlah undang-undang yang memperkuat kontrol pemerintah, serta melemahnya oposisi di parlemen menandakan penyusutan ruang demokrasi. Dengan hampir semua partai besar menjadi bagian dari pemerintahan, fungsi pengawasan politik praktis lumpuh.
Dalam kerangka Aspinall, Indonesia masih bertahan di fase ketiga demokrasi: prosedur demokrasi tetap dijalankan, tetapi substansinya dikuasai oleh elit yang menukar legitimasi dengan simbol populisme.
Ekonomi Politik dan Struktur Kekuasaan
Secara makro, ekonomi Indonesia tetap tumbuh di kisaran 5 persen. Pemerintahan Prabowo–Gibran melanjutkan fokus pada pembangunan infrastruktur dan industrialisasi hilir, melanjutkan agenda utama era Jokowi. Proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) diteruskan dengan beberapa penyesuaian. Kebijakan hilirisasi, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan, diperkuat melalui berbagai regulasi baru yang bertujuan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam.
Namun, arah kebijakan ekonomi menunjukkan kecenderungan lama: pertumbuhan yang berpihak pada pemodal besar. Konsorsium perusahaan besar tetap mendominasi proyek strategis nasional. Akses terhadap kredit dan sumber daya juga masih lebih mudah bagi kelompok bisnis besar ketimbang pelaku UMKM. Sementara itu, bantuan sosial yang masif sering kali berfungsi sebagai alat politik untuk menjaga popularitas, bukan sebagai instrumen pemerataan yang berkelanjutan.
Kenaikan Indeks Persepsi Korupsi dari 34 ke 37 poin pada 2024 (Transparency International & KPK, 2024) memang patut dicatat. Meski begitu, posisi Indonesia yang berada di peringkat 99 dari 180 negara menunjukkan bahwa integritas pemerintahan belum mengalami perubahan mendasar.
Pelemahan KPK yang dimulai sejak revisi UU KPK tahun 2019 juga belum dipulihkan. Tidak ada langkah signifikan untuk memperkuat lembaga antikorupsi. Banyak kasus besar dibiarkan tanpa penyelesaian yang transparan. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi tanpa perbaikan tata kelola hanya memperluas dominasi oligarki yang sama.
Populisme sebagai Mode Pemerintahan
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran memperlihatkan bahwa populisme kini bukan hanya strategi kampanye, tetapi telah menjadi gaya pemerintahan. Program dan kebijakan dirancang dengan kemasan yang komunikatif dan mudah dicerna publik.
Gaya komunikasi ini menciptakan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat, namun sering kali mengaburkan substansi kebijakan. Evaluasi lebih banyak berfokus pada popularitas dan viralitas ketimbang efektivitas dan dampak jangka panjang. Dalam logika Aspinall, hal ini menegaskan paradoks fase ketiga demokrasi: rakyat diajak merasa dekat, tetapi tetap dijauhkan dari proses pengambilan keputusan yang sesungguhnya.
Indonesia dalam Konteks Global
Fenomena oligarki dan populisme yang kini menguat di Indonesia sejatinya bukan hal yang unik. Di banyak negara, kombinasi serupa muncul sebagai respons terhadap krisis representasi politik. Para pemimpin populis mengklaim berbicara atas nama rakyat, namun tetap mempertahankan aliansi dengan elit ekonomi lama.
Konteks Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri. Warisan Orde Baru yang otoriter, struktur sosial yang patrimonial, dan ekonomi yang oligarkis menjadi fondasi yang subur bagi tumbuhnya demokrasi yang paradoksal: secara formal demokratis, tetapi secara substansi elitis. Institusi demokrasi yang dibangun setelah reformasi, meski berfungsi, belum cukup kuat untuk menahan tekanan kekuasaan.
Menimbang Masa Depan Demokrasi
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran memberi sinyal kuat bahwa arah politik Indonesia belum keluar dari fase oligarkis-populis. Demokrasi prosedural tetap berjalan, namun substansinya semakin dangkal. Kekuasaan terkonsentrasi, partai kehilangan independensi, dan kebijakan publik cenderung ditentukan oleh kepentingan elit ekonomi.
Namun, sejarah demokrasi Indonesia juga menunjukkan dinamika. Fase pertama Reformasi membuktikan bahwa masyarakat sipil mampu menggoyang rezim otoriter. Jika mengikuti kerangka Aspinall, demokrasi tidak pernah final. Ia selalu menjadi proses yang bergerak—kadang maju, kadang mundur—tergantung kekuatan sosial yang menggerakkannya.
Tantangan terbesar hari ini adalah mengembalikan demokrasi ke substansinya: memperkuat institusi, menjamin akuntabilitas, dan menutup jarak antara rakyat dengan pengambil kebijakan. Tanpa hal itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung simbolik tanpa makna partisipatif.
Demokrasi sebagai Proyek yang Tak Pernah Selesai
Tiga fase demokrasi yang digambarkan Aspinall memberi pelajaran penting. Fase transisi (1998–2004) menunjukkan bahwa perubahan sistemik mungkin terjadi ketika masyarakat sipil kuat dan berani menekan kekuasaan. Fase konsolidasi semu (2005–2014) mengingatkan bahwa demokrasi tidak cukup dengan prosedur, tetapi memerlukan substansi keadilan. Fase oligarkis-populis (2014–sekarang) memperlihatkan risiko kemunduran: demokrasi dapat menurun secara perlahan tanpa kudeta, hanya melalui kompromi yang berulang.
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran hanyalah satu bab dalam perjalanan panjang demokrasi Indonesia. Bab ini belum selesai ditulis, dan arah akhirnya belum pasti. Masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh elit politik, tetapi juga oleh jutaan warga yang setiap hari memutuskan apakah mereka akan diam, atau terus ikut terlibat dalam kehidupan publik.
Karena itu, kita tidak boleh menerima begitu saja narasi bahwa “demokrasi kita sudah cukup.” Demokrasi Indonesia saat ini—dengan segala kekurangannya—adalah hasil perjuangan panjang. Namun, ia tetap bisa dan harus diperbaiki. Warisan Reformasi 1998 tidak berhenti pada tumbangnya Orde Baru, melainkan pada cita-cita membangun sistem politik yang lebih adil, partisipatif, dan akuntabel.
Selama ruang untuk kritik dan mobilisasi masih ada, harapan untuk demokrasi yang lebih baik tetap hidup. Tantangannya adalah menjaga ruang itu agar tidak tertutup. Demokrasi, seperti kata Antonio Gramsci, memerlukan “pesimisme intelektual tetapi optimisme kemauan.” Kita harus realistis terhadap ancaman oligarki, namun tetap percaya bahwa perubahan selalu mungkin.