
Oleh Ihsan Nugraha
Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80, New York, menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena substansi yang disampaikan, tetapi juga karena makna komunikatif yang terkandung di dalamnya. Dari sudut pandang komunikasi politik, forum internasional seperti ini bukan sekadar ruang penyampaian kebijakan luar negeri. Lebih dari itu, ia menjadi panggung untuk membangun citra dan identitas politik negara di hadapan dunia.
Prabowo tampil dengan gaya tegas namun sarat muatan moral. Ia menegaskan dukungan terhadap Palestina, menawarkan solusi konkret dengan kesiapan mengirim puluhan ribu pasukan perdamaian, serta menyampaikan komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan global. Isu-isu ini jelas dipilih dengan cermat, menghadirkan Indonesia sebagai negara yang relevan, solutif, dan bermartabat dalam percaturan internasional.
Indonesia sebagai Negara Bermoral
Dari sisi komunikasi politik, strategi yang digunakan Prabowo dapat dibaca dalam beberapa lapisan. Pertama, ia mengaitkan pengalaman sejarah Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah dengan penderitaan Palestina hari ini. Dengan cara ini, ia membangun kesan bahwa Indonesia berbicara bukan dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman kolektif yang autentik.
Kedua, ia menampilkan Indonesia sebagai bagian dari solusi global. Komitmen terhadap pangan, energi, dan iklim diposisikan bukan hanya untuk kepentingan domestik, tetapi juga untuk kepentingan dunia. Di sini muncul gambaran Indonesia sebagai problem solver, negara yang tidak hanya mengeluh, tetapi juga menawarkan kontribusi nyata.
Ketiga, pidato tersebut juga mempertegas posisi Indonesia di tengah rivalitas geopolitik global. Saat menegaskan bahwa “yang kuat tidak boleh semena-mena terhadap yang lemah,” Prabowo mengirimkan pesan moral yang melampaui sekat blok politik dunia. Indonesia diposisikan sebagai negara dengan kredibilitas moral, sebuah posisi yang dapat memperkuat daya tawar diplomasi di masa depan.
Panggung Dunia, Resonansi di Dalam Negeri
Dalam komunikasi politik, setiap kata, simbol, dan gestur di panggung internasional memiliki resonansi ganda. Apa yang diucapkan Prabowo tidak hanya ditujukan bagi delegasi di ruang sidang, tetapi juga bagi publik domestik yang menyaksikan dari jauh.
Bagi rakyat Indonesia, pidato ini sekaligus menjadi sarana mengkonsolidasikan citra kepemimpinan: seorang presiden yang vokal di panggung dunia, pembela kemanusiaan, dan pemimpin yang mampu bicara sejajar dengan para pemimpin besar dunia.
Namun bagi audiens internasional, pesan solidaritas dan kesiapan Indonesia untuk berkontribusi dalam perdamaian global menjadi penting dalam memperkuat reputasi negara. Dengan demikian, pidato ini berfungsi ganda: membangun kredibilitas di luar negeri sekaligus memperkuat legitimasi politik di dalam negeri.
Antara Simbol dan Tindakan Nyata
Pidato Prabowo di PBB menunjukkan bahwa komunikasi politik di level global bukan hanya persoalan diplomasi formal. Ia juga menyangkut bagaimana sebuah negara mengelola citra dan kredibilitasnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah citra yang ditampilkan akan konsisten dengan kebijakan nyata di lapangan? Dunia akan menilai apakah janji mengirim 20.000 pasukan perdamaian benar-benar diwujudkan, apakah komitmen pada ketahanan pangan global konsisten dengan kebijakan perdagangan, serta apakah tekad mengurangi emisi sejalan dengan tindakan di sektor energi. Tanpa konsistensi, citra yang dibangun hanya akan berhenti pada retorika.
Dampak Politik ke Depan
Dari perspektif komunikasi politik, pidato ini dapat menjadi salah satu fondasi untuk membangun positioning Indonesia dalam hubungan internasional jangka panjang. Indonesia sedang berusaha meneguhkan dirinya sebagai negara menengah (middle power) yang punya pengaruh moral sekaligus kapasitas praktis.
Bagi Prabowo, pidato ini juga menjadi pijakan penting dalam membangun narasi kepemimpinan di era global yang penuh ketidakpastian. Ia mencoba membingkai dirinya bukan hanya sebagai presiden bagi rakyat Indonesia, tetapi juga sebagai figur pemimpin dunia yang bersuara untuk kemanusiaan.
Catatan Akhir
Pidato Prabowo di PBB adalah contoh bagaimana komunikasi politik bekerja pada level simbolik dan praktis sekaligus. Ia tidak hanya menyampaikan pesan diplomatik, tetapi juga mengartikulasikan citra Indonesia sebagai bangsa yang punya kredibilitas moral, solusi konkret, dan keberanian untuk bersuara.
Pada akhirnya, dunia akan menilai bukan hanya dari kata-kata, melainkan juga dari tindakan. Citra politik yang kuat akan bertahan hanya jika selaras dengan kebijakan nyata. Inilah tantangan komunikasi politik Indonesia ke depan: memastikan kata-kata besar di forum internasional terwujud dalam aksi yang nyata.