
Oleh Aap Salapudin*
Pada Jumat (25 Juli 2025), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kabar yang patut diapresiasi: angka kemiskinan Indonesia kembali menurun. BPS mencatat bahwa tingkat kemiskinan nasional berada di angka 8,47 persen—turun dari 8,57 persen pada September 2024.
Namun yang menarik perhatian lebih tajam adalah capaian di kawasan perdesaan. Di tengah tantangan struktural dan geografis, angka kemiskinan di desa mengalami penurunan dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen. Sekilas terlihat kecil, namun dalam konteks kebijakan dan intervensi sosial-ekonomi, ini merupakan langkah yang patut disorot.
Penurunan ini tentu tidak terjadi secara alami. Ia merupakan buah dari intervensi terarah dan konsisten yang dijalankan oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) di bawah kepemimpinan Yandri Susanto.
Asta Cita dan Misi Pemerataan dari Pinggiran
Salah satu visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah Asta Cita, delapan program prioritas yang salah satunya berfokus pada pembangunan dari desa untuk menciptakan pemerataan. Melalui Kemendes, visi ini diterjemahkan dalam kebijakan afirmatif yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat desa.
Berbagai program seperti penguatan BUMDes, revitalisasi kawasan tertinggal, serta pengembangan desa digital menjadi alat untuk menggerakkan ekonomi desa secara lebih merata.
Dana Desa telah menjadi motor penggerak infrastruktur dasar di desa-desa terpencil—mulai dari jalan desa, jembatan kecil, hingga penyediaan air bersih dan sanitasi. Namun yang lebih penting dari itu adalah keberhasilan Kemendes dalam menggeser paradigma pembangunan desa, dari yang semula berfokus pada pembangunan fisik menjadi pembangunan manusia dan ekonomi lokal.
BUMDes kini bukan hanya badan usaha milik desa, tetapi juga menjadi simpul harapan ekonomi warga. Di bawah koordinasi Kemendes PDT, BUMDes diarahkan menjadi pendorong usaha produktif, mulai dari pengelolaan hasil tani, produk olahan desa, hingga sektor pariwisata. Tidak sedikit BUMDes yang naik kelas dan membuka lapangan kerja baru bagi warga setempat.
Langkah ini tidak hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga mengurangi urbanisasi dan ketimpangan wilayah.
Kolaborasi Lintas Sektor
Kementerian Desa juga aktif menjalin sinergi lintas kementerian dan lembaga untuk mengatasi kemiskinan. Lewat integrasi data, pemanfaatan teknologi digital, serta pendekatan kewilayahan berbasis potensi, Kemendes turut menyumbang percepatan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di tingkat desa.
Yandri Susanto, sebagai Menteri Desa dan PDT, menekankan pentingnya desa berbasis data dalam berbagai forum. Sebab, hanya dengan itulah intervensi bisa tepat sasaran dan berkelanjutan.
Menuju 2026: Tantangan dan Konsistensi
Tentu tantangan masih ada. Ketimpangan antara desa dan kota belum sepenuhnya teratasi. Namun capaian ini memberi sinyal kuat bahwa pembangunan desa yang dirancang dengan pendekatan partisipatif dan progresif mampu mengubah wajah Indonesia dari pinggiran.
Jika arah ini dijaga konsistensinya, maka tidak mustahil target-target dalam Asta Cita dapat dicapai lebih cepat, bahkan melebihi ekspektasi.
Kemiskinan yang menyusut di desa bukan semata statistik, melainkan cerminan dari kerja bersama antara negara, masyarakat, dan pemerintah desa. Kementerian Desa dan PDT menunjukkan bahwa membangun Indonesia dari desa bukanlah jargon, melainkan jalan nyata menuju keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih merata.
*Penulis Aktivis 98 Jawa Barat
Editor: San