Kepada Siapa Petani Harus Minta THR?

Oleh: Nurdin A. Aziz

 

Hujan turun dengan malas. Seperti pegawai negeri yang tahu gajinya tak akan dipotong meskipun datang terlambat. Seperti tukang kredit keliling yang tetap tersenyum meski utang orang sekampung menumpuk. Hujan turun dengan enggan, dan di bawahnya para petani menatap langit dengan wajah muram.

 

Menjelang Lebaran, orang-orang kota menanti Tunjangan Hari Raya (THR) seperti bocah menunggu kembang api dinyalakan. Gaji ke-13, bonus tahunan, tunjangan tambahan, apa pun namanya, yang penting uang mengalir deras ke kantong mereka. Sementara di desa, petani bertanya-tanya: kepada siapa kami minta THR?

 

Di warung kopi, percakapan tentang THR hanya mengundang tawa hambar. Para petani tahu, padi tak mengenal tanggal merah, ladang tak tahu apa itu libur nasional. Jika tanaman bisa bicara, mungkin mereka akan menertawakan ilusi perayaan ini. “Kami harus tetap diobat,” kata cabai. “Kami tetap harus dipupuk,” sahut padi. “Kami harus dipanen, entah harga sedang bagus atau hancur,” tambah timun.

 

Mereka tahu, satu-satunya yang bisa memberi THR kepada petani adalah alam. Jika hujan turun tepat waktu, tanah subur, hama tak mengganas, itulah bonus mereka. Jika harga gabah naik, jika bandar sedang baik hati, itulah gaji ke-13 mereka. Tapi siapa yang bisa memastikan semua itu?

 

Di jalanan kota, para pekerja bersorak saat pengumuman THR turun. Sementara di sawah, para petani menghela napas panjang. Upah buruh tani harus dibayar, pupuk harus dibeli, cicilan harus dilunasi. Jika ada sisa, barulah terpikir membeli baju baru untuk anak-anak. Tapi lebih sering tak ada sisa, hanya janji kepada keluarga, “Nanti, kalau panen berikutnya bagus.”

Baca Juga:  Diam Itu Nyaman, Tapi Perubahan Butuh Suara

 

Tahun lalu, panen gagal karena banjir. Tahun sebelumnya, harga jatuh. Tahun sebelumnya lagi, hama menyerang. Jika semua kegagalan itu diingat, kepala bisa pusing sendiri. Lebaran tetap harus dirayakan, meskipun mungkin hanya dengan ketupat dan sayur bayam, tanpa daging rendang, tanpa baju baru, tanpa amplop berisi uang untuk keponakan yang berkunjung.

 

“Kenapa petani tidak pernah dapat THR?” tanya seorang bocah kepada kakeknya yang baru pulang dari sawah dengan tubuh penuh lumpur. Kakeknya terkekeh. “Karena kita bekerja untuk perut kita sendiri, bukan untuk bos yang bisa memberi bonus,” jawabnya.

 

Tapi bukankah petani juga bekerja untuk semua perut? Bukankah beras yang dimakan pegawai kantoran di kota berasal dari sawah mereka? Bukankah ayam yang dihidangkan saat Lebaran dibesarkan dengan jagung hasil panen mereka? Jika para petani mogok seminggu saja, siapa yang akan kelaparan lebih dulu—mereka atau para pegawai itu?

 

Tapi petani tak mungkin mogok. Tanaman tak bisa dibiarkan begitu saja. Jika ditinggalkan sehari, mereka tak bisa protes seperti buruh pabrik. Mereka hanya akan layu dalam diam, lalu mati tanpa kata-kata.

 

Jadi, kepada siapa petani harus meminta THR? Kepada pemerintah yang hanya ingat mereka saat pemilu? Kepada bandar yang lebih lihai memainkan harga ketimbang petani memainkan cangkul? Kepada Tuhan, yang mungkin juga sudah lelah mendengar doa mereka?

 

Tak ada jawabannya. Maka petani melakukan apa yang sudah mereka lakukan sejak dulu: bekerja. Mereka tahu, mereka tak akan mendapatkan THR. Tapi setidaknya, mereka masih bisa memastikan ada nasi di meja saat Lebaran tiba.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *